We’e; M.S_Umam

Sebut saja, sampai hari ini kader PMII Tarbiyah sedang mengalami disorientasi gerakan. Pada dasarnya bukan karena perihal kuantitas. Namun, hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman terhadap PMII secara utuh. PMII sampai hari ini masih dipelajari dan dipahami sebatas kulitnya saja. Pada esensinya, banyak kader yang masih bingung dalam menata gerak langkahnya. Memang secara garis besar, gagasan paradigmatic yang digagas oleh Pengurus Besar PMII masih dalam tataran debatable.
PMII Tarbiyah sampai detik ini masih tetap menganggap kaum Mustadz’afin adalah kaum yang harus diperjuangkan. Dengan demikian, PMII Tarbiyah jika dinilai ideal tentunya dapat menempatkan kaum Muztadz’afin sebagai salah satu realisasi dari Nilai Dasar Pergerakan (NDP) . Dalam perjuangannya, NDP telah dijadikan panglima oleh PMII Tarbiyah. Dengan dijadikannya panglima, NDP secara otomatis menjadi garda depan (Avant Garde) untuk melakukan gerakannya. Berbagai kemungkinan memang telah dan pernah diantisipasi PMII Tarbiyah. Namun, hal tersebut tak terbantahkan jika ditambahkan dengan 5 konsepsi sebagai pelengkap; Meluas dan Meninggi, Tingginya Mutu Ideologi, Menjaga Tradisi Lama yang Baik dan Mengambil Tradisi Baru yang Lebih Baik, Kreatifitas Individual dan Kearifan Lokal, Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner. Dan semua yang tersebut diatas didukung dengan metode Turun ke Bawah (TURBA).
1. Meluas dan Meninggi
Meluas berarti juga kaya. Dalam pandangan penulis, meluas diartikan sebagai kondisi banyaknya kader baik ditingkat Nasional sampai ditingkat Lokal. Dengan banyaknya kader, maka banyak pula ide, gagasan, potensi, dan kreatifitas dalam PMII. Kekayaan kader dengan ide, gagasan, potensi, dan kreatifitas yang dimiliki oleh PMII patut kita syukuri. Ide, gagasan, potensi, dan kreatifitas tersebut ada dengan tidak atau belum hadirnya PMII dalam lembar sejarah pergulatan perubahan sosial politik di Indonesia. Kehadiran PMII disini adalah sebagai mesin generator agar segala ide, gagasan, potensi, dan kreatifitas kader yang luas tersebut dapat dihidupkan kembali untuk kemaslahatan bersama.
Sebagai generator perubahan, PMII harus melaksanakan kegiatan yang meninggi. Kegiatan menginggi tersebut diciptakan untuk mendidik kader- kader muda yang belum cukup terlatih, selama kader tersebut memiliki kemauan dan kesanggupan. Kombinasi garis meluas dan meninggi dirumuskan sebagai berikut; “Kegiatan meluas sebagai landasan bagi kegiatan meninggi, dan kegiatan meninggi sebagai perangkat kegiatan meluas”

2. Tingginya Mutu Ideologi
Jika boleh dikata, PMII sampai hari ini masih belum memiliki ideologi. Namun, banyak pernyataan kader yang merujuk “Aswaja” sebagai ideologi PMII. Aswaja dianggap sebagai ideologi yang bermutu tinggi. Dengan varian nilai yang termaktub didalamnya , PMII telah menjadikan aswaja mulai dari metodologi berfikir sampai pada tataran tindakan. Anggapan penulis bahwa, dengan nilai- nilai tersebut kader PMII memiliki satu disiplin tubuh yang mengharuskan untuk melakukan gerakan dengan style-nya sendiri.

3. Menjaga Tradisi Lama yang Baik dan Mengambil Tradisi Baru yang Lebih Baik
“Al Muhafadhotu ‘ala Qodimi as Sholich wa al Akhdu bi Jadidi al Ashlah” . Pengambilan Qoul ini tidak semata- mata berangkat dari ruang yang kosong. Qoul tersebut dahulu, juga hadir dari pergolakan sosial pada masanya. Dengan arus Globalisasi yang semakin menggila ini, perlu adanya sebuah proteksi terhadap segala sesuatu yang berada disekitar kita.
Pemaknaan penulis akan Qoul diatas, adalah sebuah proses yang sangat hati- hati, namun penuh dengan sikap yang revolusioner. Hati- hati dalam menjaga tradisi lama yang baik dan dalam melakukan penyaringan terhadap tradisi yang baru, sehingga mewujudkan sikap yang revolusioner. Jika hal tersebut menjadi salah satu pelengakap NDP yang telah dijadikan panglima, maka PMII tak akan pernah tergerus oleh zaman.

4. Kreatifitas Individual dan Kearifan Lokal
Permasalahan yang terjadi dalam konsepsi kreatifitas individu adalah, bagaimana kreatifitas individu dalam kekayaan ide dan gagasan kader ? PMII sangat menghormati adanya kreatifitas individu. Namun, individu yang di-maksud adalah bukan individu yang; meminjam paragraf Pramoedya Ananta Toer; “…membuat setiap orang menjadi sibuk dengan segala persoalan yang semestinya tidak menjadi kewajibannya untuk menyelesaikannya, persoalan- persoalan individu dan umum, sehingga setiap orang hidup dalam alam yang penuh dengan penderitaan batin dan pesimisme; individu nampak dan merasa hidup dalam kesunyian, terapung- apung entah dimana, tidak ada kesempatan untuk berhati tulus dan ikhlas terhadap sesamanya, dan setiap orang nampak dan terasa sebagai keledai yang tak tahu kemana akan pergi, dari mana ia datang, tetapi terus berjalan, terus berjalan, dengan beban berat dan sia- sia pada tengkuknya.”
Kreatifitas individual kader akan mendapat kehormatan ketika benar- benar digali dari kondisi obyektif sosio kemasyarakatan dimana kader tersebut berada, tentunya tanpa melapaskan kearifan lokal (Local Wisdom).

5. Realisme Sosial dan Romantik Revolusioner
Ditilik dari namanya, watak realisme social adalah militansi sebagai ciri yang tidak pernah kompromi dengan lawan. Dengan militansi sebagai ciri- ciri, watak dan karakteristik dalam diri kader, maka secara otomatis, proses pengambangan organisasi tidak ternafikan. Dengan militansi yang kuat, organisasi tidak hanya bisa bertahan dalam proses regulasi zaman. Namun, terlebih dari itu adalah mampu mewujudkan proses dinamisasi didalamnya.
Dalam tataran ini, kader diberi keluwesan dalam menentukan arah pijakan dan sejarahnya; yang nantinya akan diambil sebagai sebuah kebijakan. Tidak ada proses dogmatisme atau senioritas yang mengungkung kedirian kader didalamnya. Pola dan proses semacam ini hanya berada dalam kubangan system yang dibangun dalam setiap jenjang kepengurusan.
Karena itu, realisme social adalah kelenturan membaca realitas yang ada sekarang dan realitas yang telah terdahulu; mengambil yang lampau dengan memberi isi baru yang actual dengan pikiran yang progresif dan revolusioner.

Kelima konsepsi diatas tidak akan pernah berhasil ketika tidak menggunakan metode TURBA. Fungsi dari TURBA disini adalah agar segala yang dilakukan tidak berada pada tataran angan- angan saja. Serta, dengan TURBA segala aktifitas yang dilaksanakan akan berbasis pada realitas obyektif. Dengan ini PMII secara umum dan PMII Tarbiyah secara khusus tidak akan pernah termakan oleh pusaran arus zaman. Apa yang ditakutkan kader selama ini; PMII akan menjadi hanya sebatas nama dalam lembar sejarah gerakan mahasiswa, tidak akan pernah terjadi.
Patut kiranya penulis ungkapkan bahwa, kombinasi 1-5-1 ini yang nantinya akan menjadi benteng pertahanan terakhir, ketika kader- kader PMII mengalami stagnasi dalam melakukan gerakan- gerakannya.

This entry was posted on Senin, 26 April 2010 at 21.15 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

1 komentar

mas umam.....

1 Mei 2010 pukul 07.56

Posting Komentar

Entri Populer