Oleh; M.S.Umam

Wahabisme; sekte kaku dan keras yang muncul di belahan Jazirah Arab pada abad ke 18 M yang didirikan oleh Muhammad ibn ‘Abdul Wahab. Ayah Muhammad ibn ‘Abdul Wahab adalah pengikut setia madzhab Ahmad ibn Hanbal. Muhammad ibn ‘Abdul Wahab lahir di daerah ‘Uyaynah, termasuk daerah Najd, belahan timur Kerajaan Saudi Arabiyah sekarang, pada tahun 1703M / 1115H.[1] Daerah yang terakhir kali menerima Islam dan kampung Musailamah al – Kadzdzab. Terlepas dari Wahabi, nabi sebelumnya pernah mengungkapkan bahwa, “tidak akan muncul apa pun dari Najd, selain golongan fitnah dan syaitan”. Sejak kecil, Muhammad ibn ‘Abdul Wahab telah memiliki beberapa keganjalan dalam sikap kesehariannya. Sampai – sampai ‘Abdul Wahab, ayahnya diberhentikan dari posisinya sebagai hakim dan diperintahkan pindah dari ‘Uyaynah pada tahun 1726 / 1139.

Pada waktu itu, permulaan abad ke-16, kerajaan Turki-Osmani (penganut faham Sunnah Madzhab Hanafi) telah menaklukkan kerajaan Fatimiah (Mesir, penganut faham Syi’ah). Pada periode itu juga, Turki-Osmani juga menguasai belahan Saudi Arabiyah, termasuk kota- kota suci (Makkah-Madinah). Suku Badui[2], penganut faham Hambali sangat benci dengan model dan gaya kepemimpinan kerajaan Turki-Osmani pada saat itu. Pertengahan abad ke-18, Muhammad ibn ‘Abdul Wahab, pemimpin bangsa Badui mencoba menghidupkan kembali faham madzhab Hambali.[3] Faham wahabi disatu sisi mengembangkan puritanisme (al- Qur’an dan Hadits)[4], dan disisi lain mereka mengembangkannya dengan spirit yang sangat ekstrem.[5] Menurut kalangan wahabi, telah terjadi banyak penyimpangan yang telah dilakukan oleh umat Islam dengan tidak mengindahkan kemurnian al- Qur’an dan Hadits. Umat Islam mereka anggap telah keluar dari norma- norma yang telah dibangun dalam al- Qur’an dan Hadits.

Dalam pemikiran semacam ini sebenarnya tidak ada yang salah; sebab, kembali pada al- Qur’an dan Hadits adalah sebuah keniscayaan bagi umat Islam. Hal tersebut tetap berlandaskan pada sebuah pernyataan sikap yang sampai hari ini masih tetap dikukuhkan bahwa, al- Qur’an dan Hadits adalah sumber- sumber primer dalam Islam. Namun, hal tersebut menjadi problematik ketika jargon semacam itu kemudian dikomodifikasi menjadi pembentuk nalar keagamaan yang bersifat puritanistik-absolud.[6] Kaum wahabi menganggap bahwa, untuk menemukan “makna asli” dari Islam, dibutuhkan format atau upaya untuk kembali ke periode awal perkambangan Islam; yaitu pada periode Nabi Muhammad SAW. Dalam fase ini, mereka lebih mengedepankan pandangan dari ulama’ Hambaliisme; ibn Taimiyah. Dalam menggunakan pemikiran ibn Taimiyah, mereka tidak melakukannya secara adil dan obyektif, namun hanya mengutip pandangan- pandangan ibn Taimiyah yang untuk melegitimasi faham mereka. Sangat berbeda jauh dengan pandangan atau metode pengetahuan yang digunakan oleh golongan Sunni. Golongan Sunni memiliki keyakinan yang meniscayakan penelusuran intelektual terhadap khazanah klasik yang ditulis ulama’ terdahulu dengan berbagai macam pandangan (paradigma). Dengan pandangan kaum wahabi semacam itu, akan menimbulkan sikap eksklusif dalam diri umat Islam. Kaum wahabi tidak hanya membenci kaum non-Muslim, bahkan jauh lebih ekstrem lagi, mereka juga menggunakan term- term “kafir” bagi Muslim yang berbeda pandangan dengan mereka. Dengan sikap demikian, akan menjadikan Islam sebagai agama, sangat tidak toleran dan tidak menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ‘Alamin).

Beberapa sikap kaum wahabi di atas, sebenarnya sangat bertentangan dengan ayat- ayat dalam al- Qur’an; “mereka tidaklah sama, diantara orang- orang Ahlul Kitab terdapat umat yang bangun ditengah malam membaca ayat- ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak kepada kebajikan dan mencegah kemungkaran, serta berlomba- lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang- orang yang shaleh” (Q.S. Ali ‘Imran [3]: 113-114). Sejalan pula dengan ayat: “dan janganlah mendebat orang- orang Ahlul Kitab kecuali dengan cara yang lebih arif” (Q.S. al- Ankabut [29] : 46). Dari sini akan nampak sangat paradoks dengan pemikiran dan style gerakan kaum wahabi. Satu sisi, mereka menginginkan adanya spirit untuk kembali pada “kemurnian” al- Qur’an dan Hadits, disisi lain mereka tak mengindahkan ayat- ayat yang berbicara tentang adanya semangat perbedaan.

Dalam perkembangannya, relasi wahabisme dengan penguasa kerajaan Saudi Arabiyah[7], telah menjadikan wahabisme sebagai ideologi kerajaan (sampai sekarang). Tujuan gerakan ini adalah menghapus semua Khurafat dan bid’ah serta kembali pada al- Qur’an dan as- Sunnah, mengesakan Tuhan, dan membuang semua yang berbau syirik.[8] Dalam memperluas wilayah (ekspansi ideologis), kelompok ini tak jarang melakukannya dengan sikap yang ekstrem. Aksi pertama yang telah dilakukan oleh kaum wahabi ketika itu adalah menghancurkan makam Zaid ibn al- Khaththab. Sebelumnya, aksi- aksi pengkafiran dan pemurtadan telah dilancarkan[9], sebagai pembuka aksi- aksi kekerasan yang akan mereka lakukan.[10] Dalam kurun waktu lima belas tahun, relasi Wahabi-Sa’ud telah menguasai sebagian besar jazirah Arab. Kurang dari satu dekade, ajaran wahabi sudah dipaksakan dengan senjata di daerah Haramain (Makkah dan Madinah).

Doktrin Keagamaan Wahabi

Tidak dapat kita pungkiri bahwa, Haramain (Makkah dan Madinah) adalah lumbung keilmuan, gudang wacana keagamaan (ke-Islam-an) sampai hari ini. Dengan demikian, Haramain memiliki posisi yang istimewa bagi dunia Islam dan masyarakat Muslim pada umumnya. Hal tersebut dapat diidentifikasi dari akar kesejarahan, mulai Islam disebarkan dibelahan Jazirah Arab. Kita ketahui bersama, Makkah adalah tempat dimana seluruh umat Islam dipenjuru dunia manapun menghadap untuk bersembah sujud keharibaan Ilahi Rabby. Dari sinilah berduyun- duyun ribuan umat Islam mendatangi kedua kota tersebut dalam rangka Ibadah dan menuntut ilmu. Tak pelak, proses dialektika pemikiran dan wacana keagamaan dari berbagai macam umat Islam dipenjuru dunia berkembang pesat disana. Dari latar belakang inilah, asumsi diawal pembahasan tadi bisa terjawab (meski tidak secara detail dan sistematis).

Periode Awal dan Masuknya Wahabisme di Indonesia

Banyak penulis sejarah yang menyatakan bahwa, gerakan pembaharuan yang berhaluan wahabisme teridentifikasi jejaknya masuk ke Indonesia sejak kemunculan gerakan pembaharuan yang terjadi di Minangkabau, Sumatera Barat dan diberi nama gerakan kaum paderi. Beberapa pendapat menyatakan tentang asal usul kata paderi itu sendiri. Ada yang menyatakan bahwa kata paderi berasal dari kata “padre” berasal dari bahasa Portugis yang berarti “bapak”. Ada pula yang berpendapat berasal dari kata “pedir”, pelabuhan di pesisir utara Aceh; tempat dimana para calon haji dari Indonesia berangkat ke Tanah Suci. Minangkabau awal abad ke-19 tidak sebegitu dikenal. Yang ada hanya “golongan hitam dan golongan putih”. “Golongan putih” inilah yang oleh para ahli sejarah diidentifikasi sebagai embrio kaum paderi. Identifikasi golongan hitam dan golongan putih itu sendiri dapat dilihat dari corak warna pakaian yang mereka kenakan. Dizaman itu pula, yang lebih dikenal adalah “masa berhitam dan berputih”.[11] Islam awal abad ke-19 di Sumatera Barat (minangkabau) mengalami proses pembaharuan yang sangat mendasar (radikal). Hal tersebut dapat dilihat semenjak tiga haji (Haji Miskin dari Pandai Siakat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Pobiang dari Tanah Datar) yang datang dari Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1803.[12] Mereka membawa spirit pembaharuan dari Mekkah yang disebut paham Wahabi.[13] Mereka sangat terpukau dengan gaya yang diterapkan oleh golongan Wahabi yang ada di Mekah. Proses pemberlakuan faham Wahabi di Mekkah, dengan spiritnya memberhangus segala yang bersifat tahayyul dan bid’ah, mereka terapkan di Minangkabau.

Pada tahun itu juga, mereka menilai bahwa, perilaku keberagamaan masyarakat Minangkabau sudah tidak lagi mengindahkan tata nilai yang diberlakukan oleh Islam. Namun, dalam posisi pada waktu itu, mereka belum cukup kekuatan dalam proses menggerakkan ideologi yang mereka bawa. Dengan demikian, mereka mengajak dan menjadikan pemimpin Tuanku Nan Tuo (penguasa daerah setempat). Pada prinsipnya Tuanku Nan Tuo sependapat dengan mereka, akan tetapi Tuanku Nan Tuo tidak sepakat dengan model yang akan mereka terapkan. Model gerakan yang mereka tawarkan dianggap dan diprediksikan oleh Tuanku Nan Tuo akan menimbulkan permasalahan baru. Gagal membujuk Tuanku Nan Tuo, mereka tidak malah pesimis dengan model gerakan yang mereka tawarkan. Dimulailah dengan merapatkan barisan pada Tuanku Nan Renceh (seorang alim terkemuka pada masa itu yang berdomisili di Luhak Agam yang berkedudukan di Kamang). Dalam proses selanjutnya, Tuanku Nan Renceh sependapat dengan gerakan mereka untuk melakukan pemurnian tauhid dengan membersihkan segala unsur ajaran dan tradisi atau kebiasaan yang merusak masyarakat Minangkabau. Untuk memperlancar gerakan mereka, Tuanku Nan Renceh memerintahkan Haji Pobiang untuk membangun barisan dalam rangka mendukung dan memperkuat gerakan mereka. Pada akhir tahun 1803, mereka memproklamasikan diri sebagai gerakan Paderi dan memulai melancarkan gerakan pemurnian agama Islam.

Nah, pada fase ini yang sebenarnya menjadi sangat menarik. Gerakan paderi yang berkembang pesat, ternyata tidak mendapatkan respon positif dari kelompok adat. Mereka merasa terusik dengan gerakan dan doktrin- doktrin ideologis yang mereka gencarkan. Pertentangan ini kemudian terus mengkristal sehingga tidak memungkinkan diatasi oleh kelompok adat sendiri. Dengan demikian, kelompok adat meminta bantuan terhadap pemerintah kolonial Belanda yang ada di Batavia. Pada dasarnya, kebijakan dari kelompok adat ini menimbulkan pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, tentu dari pihak kelompok adat demi pelanggengan status quo. Bagi pihak yang kontra, berasal dari golongan paderi dan beberapa dari masyarakat adat yang merasa identitas lokalnya telah mengalami reduksi disebabkan adanya intervensi pihak asing (Belanda). Pertentangan internal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak kolonial Belanda untuk melakukan tindak penjajahan di Minangkabau.[14]

Tak heran ketika Nugroho Notosusanto kemudian menyebutkan bahwa, tindak perlawanan pada kolonial belanda di daerah Minangkabau pada awal abad ke-9 bermula dari perpecahan di internal masyarakat Minangkabau yang sering disebut sebagai gerakan paderi. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa, pada dasarnya gerakan tersebut lebih mengarah pada penyelamatan ajaran Islam dari kontaminasi ajaran dan tradisi yang tidak Islami, yang tidak sesuai dengan al- Qur’an dan Hadits.[15]

Periode Perkembangan sampai sekarang

Dengan berakhirnya gerakan paderi di Sumatera Barat, gerakan ini tidak kemudian pupus dan tumbang sebagai ideologi gerakan. Gerakan ini seakan meredup sesaat dan kemudian bangkit kembali. Gerakan Wahabi memang tidak terorganisir secara jelas di Indonesia. Namun, gerakan ini tetap kokoh secara ideologi dan pemikiran, serta memiliki banyak generasi yang melanjutkannya. Hal tersebut terbukti dengan diproklamirkannya Negara Islam Indonesia (NII) atau juga diberi nama Darul Islam (DI) oleh Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo[16] di desa Cisampah, kecamatan Ciawiligar, kawedanan Cisayong Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Agustus 1949, gerakan ini seakan mendapat angin segar. Pada saat itu, jumlah laskar gerakan ini cukup diperhitungkan; 13.129 orang. Tak ubahnya dengan para pendahulunya, Gerakan ini bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk memproduk undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam;

Bismillahirrahmanirrahim Asjhadoe anla ilaha illallah wa asjhadoe anna Moehammadar Rasoeloellah

Kami, Oemmat Islam Bangsa Indonesia MENJATAKAN:

Berdirinja ,,NEGARA ISLAM INDONESIA"

Maka hoekoem jang berlakoe atas Negara Islam Indonesia itoe, ialah: HOEKOEM ISLAM

Allahoe Akbar! Allahoe Akbar! Allahoe Akbar!

Atas nama Oemmat Islam Bangsa Indonesia

Imam NEGARA ISLAM INDONESIA

Ttd

(S M KARTOSOEWIRJO)

MADINAH-INDONESIA, 12 Sjawal 1368 / 7 Agoestoes 1949

Dalam perkembangannya DI bercokol di beberapa wilayah yang ada di Indonesia, diantaranya DI/TII Jawa Barat, DI/TII Jawa Tengah, DI/TII Sulawesi Selatan[17], DI/TII Kalimantan Selatan, dan DI/TII Aceh[18]. Dibeberapa wilayah tersebut mengukuhkan R.M. Kartosoewirjo sebagai imam / presiden Negara Islam Indonesia. Namun, setelah Kartosoewirjo ditangkap dan dieksekusi oleh TNI pada tahun 1962, gerakan ini mulai menunjukkan perpecahan. Namun, secara pemikiran, gerakan ini tetap eksis meski dianggap sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia. Pasca dieksekusinya Kartosoewirjo, gerakan ini lebih bersifat fragmentatif-lokalitas. Hal ini terbukti dengan kepemimpinan Daud Beureueh di Negara Bagian Aceh (1976) serta adanya NII Non Struktural (1966) dan Neo NII (1966). NII Non Struktural masih tetap kukuh mempertahankan ideologi gerakan yang dilaksanakan oleh para pendahulunya (baca; Kartosoewirjo). Sedangkan Neo NII dibentuk oleh ABRI sebagai tandingan NII Non Struktural. Sedangkan NII pimpinan Abdul Qahhar Muzzakar memilih jalan lain melalui sektor pendidikan dengan mendirikan pondok pesantren Hidayatullah (1988) yang dikemudian hari berkembang menjadi besar yang berada di Balikpapan. Pada 1976, Negara Bagian Aceh (NBA), NII Non Struktural, dan Neo NII bergabung dan memilih Abu Daud sebagai Imam. Namun, Ajengan Masduki tidak sepakat dengan adanya penggabungan tersebut.[19] Ditahun 1978 Neo NII melakukan kudeta dengan mengangkat Adah Jaelani sebagai Imam / Presiden. Ditahun itu pula, NII Non Struktural memisahkan diri dari koalisi karena 20 orang tokoh mereka dibunuh oleh kelompok Neo NII. Kurun waktu 1980 – 1982, seluruh tokoh Neo NII masuk penjara. Hal ini yang kemudian pada tahun 1984 mulai terjadi banyak perpecahan dalam internal Neo NII.

Ditahun 1985, M. Shobari mendirikan kelompok sendiri, dan kemudian pada tahun 1994 mendirikan lembaga dakwah Toriquna. Pada tahun 1989, Abdullah Sungkar dan Muhammad Faleh mendirikan kelompok solo-kudus dan menghapus metode perjuangan NII dan diganti dengan model perjuangan Jamaah Islamiyah (JI).[20] Abdul Karim, Nurdin Yahya, dan Ra’is Ahmad mendirikan Lembaga Kerasulan – NII KW 9. Ditahun 1992 Abu Toto sebagai pimpinan KW-9 dan kemudian ditahun 1996 Abu Toto mendirikan pesantren Ma’had al- Zaitun di Indramayu - Jawa Tengah. Tahun 1990, Royanuddin dari elit KW-9 membangun faksi tersendiri dan dikemudian hari tahun 1999 berubah menjadi Liga Muslim Indonesia. Liga Muslim Indonesia berpartner dengan jenderal- jenderal TNI dengan perantara Nur Hidayat. Helmi Aminuddin dan Soeripto mendirikan gerakan Tarbiyah – Ikhwan. Pada tahun 1991, gerakan ini menyatakan diri sebagai bagian dari gerakan Ikhwanul Muslimin (Mesir) dari faksi Sa’id Hawwa. Ditahun 1999, faksi ini bermetamorfosa menjadi Partai Keadilan dan berubah menjadi Partai Keadilan Sejahtera ditahun 2004.

Nah, pada Desember tahun 1999 juga telah diadakan musyawarah antar kelompok / faksi yang diadakan di Cisarua – Jawa Barat. Dalam musyawarah ini, telah gagal mengambil keputusan tentang siapa pemegang komando, karena Abdullah Sungkar telah meninggal dunia. Agustus 2000, dalam kongres Mujahidin ke-1 yang diadakan di Jogyakarta, telah mengangkat Abu Bakar Ba’asyir sebagai amir Majelis Mujahidin Indonesia. Dalam proses ini, Abu Bakar Ba’asyir tidak lagi diakui sebagai pimpinan Jamaah Islamiyah.



[1] Abdurrahman Wahid (edt.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, dan Ma’arif Institute, Jakarta 2009.

[2] Khaled Abou el Fadl memandang bahwa secara sosiologis ada kecocokan antara kultur masyarakat Arab Badui yang keras dengan pandangan agama mereka yang relative kaku, keras, dan rigid. Dikutip dalam A. M. Hendropriyono, Terorisme; Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam, buku Kompas, Jakarta, 2009.

[3] M. D. Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, Bhratara, Djakarta, 1970.

[4] Dalam pemahaman kaum wahabi kali ini, al- Qur’an dan Hadits ditafisiri sangat tekstual dan eksklusif. Dikutip dalam M. Hendropriyono, Terorisme; Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam, buku Kompas, Jakarta, 2009.

[5] Pemaknaan ekstrem disini dapat dilihat dari sikap yang telah diambil oleh kaum wahabi dengan tidak hanya memusuhi non-Muslim, namun lebih dari itu, mereka juga meng“kafir”kan umat Islam yang tidak sejalan dengan gagasan dan pemikirannya. Abdurrahman Wahid (edt.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, dan Ma’arif Institute, Jakarta 2009.

[6] A. M. Hendropriyono, Terorisme; Fundamentalis Kristen, Yahudi, dan Islam, buku Kompas, Jakarta, 2009.

[7] Ibn ‘Abdul Wahab telah melakukan kesepakatan dengan Muhammad ibn Sa’ud (penguasa dan politisi). Ibn Sa’ud meminta agar ibn ‘Abdul Wahab tidak mengganggu kebiasaanya mengumpulkan upeti tahunan dari penduduk Dir’iyah. Ibn ‘Abdul Wahab menyakinkannya bahwa, jihad kedepan akan memberinya keuntungan yang lebih besar dari pada upeti yang dia inginkan. Pada tahun 1746 / 1159, Wahabi-Sa’ud telah mendeklarasikan untuk jihad dan memerangi siapa saja yang mempunyai pemahaman tauhid yang berbeda dengan mereka. Lihat di Abdurrahman Wahid (edt.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, dan Ma’arif Institute, Jakarta 2009, hal 67.

[8] Muradi, Melacak Asal- Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999, hal 1.

[9] Klaim kebenaran (seorang Muslim/ yang dinamakan sebagai orang Islam) secara ekssklusif adalah golongan mereka saja. Seperti yang digunakan dalam salah satu buku sejarah resmi wahabi; ‘Unwan al-Majd fi Tarikh an- Najd.

[10] Abdurrahman Wahid (edt.), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, dan Ma’arif Institute, Jakarta 2009, hal 66.

[11] M. D. Mansoer, dkk, Sejarah Minangkabau, Bhratara, Djakarta, 1970.

[12] Tiga orang Minangkabau tersebut sedang ada di Tanah Arab ketika “revolusi Wahabi” sedang berkobar. Sekembalinya dari Tanah Suci, mereka merasa berkewajiban melanjutkan tradisi permusuhan yang mereka bawa dari Tanah Suci. Ibid, hal 119.

[13] Bambang Suwendo, dkk, Sejarah Sumatera Barat, Jakarta: Proyek Pembinaan dan Pengembangan Budaya Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978. hal 64.

[14] Muradi, Melacak Asal- Usul Gerakan Paderi di Sumatera Barat, PT. Logos Wacana Ilmu, Ciputat, 1999, hal 4.

[15] Notosusanto, Nugroho, Sejarah Nasional Indonesia IV, edisi ke-4, Jakarta: Balai Pustaka, 1984, hal. 169

[16] Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (S.M. Kartosoewirjo) lahir di Cepu Jawa Tengah pada tanggal 7 Januari 1905. Ia adalah sosok yang kharismatik, meski dalam lebar sejarah bangsa Indonesia, ia dicatat sebagai salah satu tokoh pemberontak. Kartosoewirjo sempat mengikuti pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran (Nederlands Indische Artsen School). Dalam ranah politik, dia memulai karirnya sejak menjadi murid dan sekretaris pribadi tokoh utama partai Sarekat Islam H.O.S. Tjokroaminoto. Dikemudian hari, karirnya menjadi membumbung tinggi dengan menjadi Sekretaris Jendral Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

[17] Republik Persatuan Islam Makasar (Agustus 1960) dipimpin oleh Abdul Qahhar Muzzakar. Memisahkan diri dari NII dan menyerah pada Republik Indonesia tahun 1965, Peta Gerakan Negara Islam Indonesia, Center for Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS).

[18] Negara Bagian Aceh (1953) dipimpin oleh Daud Beureueh. Memisahkan diri dari NII dan menyerah pada Republik Indonesia 1962. Peta Gerakan Negara Islam Indonesia, Center for Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS).

[19] Kelompok ini yang kemudian hari setelah bergabungnya Mahfud Siddiq beserta ribuan anggotanya pada tahun 1994, serta bergabungnya Abu Jibril, Dodo, Tahmid, Gaos Taufiq, Broto, dan Mi’an Abdul Syukur pada tahun 1998 merubah metode perjuangan NII dengan model perjuangan Jemaah Islamiyah (JI). Pada tahun 2001, Dodo, Tahmid, dan Broto memisahkan diri karena tidak sepakat dengan ”teror bom” dan kemudian bergabung dengan kelompok Asep Saiful. Peta Gerakan Negara Islam Indonesia, Center for Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS).

[20] Dengan digantinya metode perjuangan tersebut, maka komando kelompok Solo-Kudus terpecah menjadi dua komando. Komando I dipimpin oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, komando II dipimpin oleh Abu Jibril. Peta Gerakan Negara Islam Indonesia, Center for Democracy and Sosial Justice Studies (CeDSoS).

This entry was posted on Rabu, 06 April 2011 at 11.52 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

1 komentar

penarih tuh bro....
salam...

6 April 2011 pukul 19.25

Posting Komentar

Entri Populer