m.s.umam

A. Pandangan Psikologi Belajar menurut Ivan Petrovich Pavlov

1. Konsep Belajar Behavioral Klasik

Teori ini memandang manusia sebagai produk lingkungan. Artinya, segala perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungan sekitarnya. Di mana lingkungan tempat manusia tinggal, di sanalah seluruh kepribadiannya akan terbentuk. Lingkungan yang baik akan membentuk manusia menjadi baik. Juga sebaliknya, lingkungan yang jelek akan menghasilkan manusia-manusia yang bermental jelek sesuai dengan kondisi lingkungan tadi.

Selain itu, konsep belajar behavioristik juga menjelaskan bahwa belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik. Stimulans tidak lain adalah lingkungan belajar anak, baik yang internal maupun eksternal yang menjadi penyebab belajar. Sedangkan respons adalah akibat atau dampak, berupa reaksi fisik terhadap stimulans. Belajar berarti penguatan ikatan, asosiasi, sifat dan kecenderungan perilaku S-R (stimulus-Respon).

Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936)

Ivan Petrovich Pavlov lahir 14 September 1849 di Ryazan Rusia yaitu desa tempat ayahnya Peter Dmitrievich Pavlov menjadi seorang pendeta. Ia dididik di sekolah gereja dan melanjutkan ke Seminar Teologi. Pavlov lulus sebagai sarjana kedokteran dengan bidang dasar fisiologi. Pada tahun 1884 ia menjadi Direktur Departemen Fisiologi pada Institute Of Experimental Medicine dan memulai penelitian mengenai fisiologi pencernaan. Ivan Pavlov meraih penghargaan nobel pada bidang Physiology or Medicine tahun 1904. Karyanya mengenai pengkondisian sangat mempengaruhi psikologi behavioristik di Amerika. Karya tulisnya adalah Work of Digestive Glands (1902) dan Conditioned Reflexes (1927).

  1. Karakter Classical Conditioning

Classical conditioning (pengkondisian atau persyaratan klasik) adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut. (Terrace, 1973). Selain itu, ada pula proses yang ditemukan Pavlov melalui percobaannya terhadap anjing, dimana perangsang asli dan netral dipasangkan dengan stimulus bersyarat secara berulang-ulang sehingga memunculkan reaksi yang diinginkan.

Eksperimen-eksperimen yang dilakukan Pavlov dan ahli lain tampaknya sangat terpengaruh pandangan behaviorisme, dimana gejala-gejala kejiwaan seseorang dilihat dari perilakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat (Bakker, 1985) bahwa yang paling sentral dalam hidup manusia bukan hanya pikiran, peranan maupun bicara, melainkan tingkah lakunya. Pikiran mengenai tugas atau rencana baru akan mendapatkan arti yang benar jika ia berbuat sesuatu.

Bertitik tolak dari asumsinya bahwa dengan menggunakan rangsangan-rangsangan tertentu, perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan apa yang diiginkan. Kemudian Pavlov mengadakan eksperimen dengan menggunakan binatang (anjing) karena ia menganggap binatang memiliki kesamaan dengan manusia. Namun demikian, dengan segala kelebihannya, secara hakiki manusia berbeda dengan binatang.

Ia mengadakan percobaan dengan cara melakukan operasi leher pada seekor anjing sehingga kelihatan kelenjar air liurnya dari luar. Apabila diperlihatkan sesuatu makanan, maka akan keluarlah air liur anjing tersebut. Namun sebelum makanan diperlihatkan, diperdengarkan bunyi bel terlebih dahulu. Dengan sendirinya air liurpun akan keluar. Apabila perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, maka pada suatu ketika dengan hanya membunyikan bel saja tanpa makanan maka air liurpun akan keluar dengan sendirinya. Eksperimen ini kemudian diulang-ulang dengan berbagai variasi, namun dapat disimpulkan bahwa:

Ø Anjing dibiarkan lapar, setelah itu bel dibunyikan; anjing mendengarkan benar-benar bunyi bel tersebut. Setelah bel berbunyi selama 30 detik, makanan diberikan dan terjadilah refleks pengeluaran air liur

Ø Percobaan tersebut diulang-ulang berkali-kali dengan jarak waktu 15 menit.

Ø Setelah diulang 32 kali, ternyata bunyi bel saja (± 30 detik) telah dapat menyebabkan keluarnya air liur dan ini bertambah deras kalau makanan diberikan.

Dari eksperimen ini, dapat diketahui bahwa:

Ø Bel merupakan CS (Conditioned Stimulus/perangsang bersyarat) dan makanan merupakan US ( Unconditioned Stimulus/ perangsang tak bersyarat)

Ø Keluarnya air liur karena bel merupakan CS (Conditioned Stimulus/perangsang bersyarat)

Ø Makanan atau perangsang wajar (US) disebut juga reinforcer (=penguat). Karena memperkuat refleks bersyarat dan menimbulkan respon lebih kuat daripada refleks bersyarat.

Makanan adalah rangsangan wajar, sedang bel adalah rangsangan buatan. Ternyata kalau perbuatan yang demikian dilakukan berulang-ulang, rangsangan buatan ini akan menimbulkan syarat (kondisi) untuk timbulnya air liur pada anjing tersebut. Peristiwa ini disebut: Refleks Bersyarat atau Conditioned Response. Pavlov berpendapat bahwa kelenjar-kelenjar yang lain pun dapat dilatih. Bectrev, murid Pavlov menggunakan prinsip-prinsip tersebut pada manusia, yang ternyata diketemukan banyak refleks bersyarat yang timbul, namun tidak disadari oleh manusia. Dari eksperimen Pavlov setelah pengkondisian atau pembiasaan dapat diketahui bahwa, daging yang menjadi stimulus alami dapat digantikan oleh bunyi bel sebagai stimulus yang dikondisikan. Ketika bel dibunyikan, ternyata air liur anjing keluar sebagai respon yang dikondisikan.

Apakah situasi ini bisa diterapkan pada manusia? Ternyata dalam kehidupan sehari-hari ada situasi yang sama seperti pada anjing. Sebagai contoh, suara lagu dari penjual es krim Walls yang berkeliling dari rumah ke rumah. Awalnya mungkin suara itu asing, tetapi setelah si pejual es krim sering lewat, maka nada lagu tersebut bisa menerbitkan air liur apalagi pada siang hari yang panas. Bayangkan, bila tidak ada lagu tersebut betapa lelahnya si penjual berteriak-teriak menjajakan dagangannya. Dari contoh tersebut dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi Pavlov ternyata individu dapat dikendalikan melalui cara mengganti stimulus alami dengan stimulus yang tepat untuk mendapatkan pengulangan respon yang diinginkan, sementara individu tidak menyadari bahwa ia dikendalikan oleh stimulus yang berasal dari luar dirinya. Dengan demikian, pembiasaan klasik (classical conditioning) dari pavlov didasarkan atas reaksi tak terkontrol dalam individu setelah menerima rangsangan dari luar.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa karakter dari klasikal kondisioning, antara lain:

Ø Learning took place (Belajar akibat tempat). Dalam hal ini, behavioral klasik menekankan bahwa seseorang itu dapat belajar bahkan berubah dari pengalamannya. Dengan kata lain, bisa mengantisipasi kelemahannya atau mempelajari dan menyiasati sehingga dapat memecahkan/ menemukan solusinya.

Ø Respon yang terbentuk bersifat emosional/fisiologikal dan tidak disengaja. Maksudnya, Respon yang ada tersebut diluar kontrol kesadaran siswa.

Ø Stimulus yang tadinya tidak ada hubungan, menjadi berhubungan.

Ø Conditioned-unconditioned respon adalah identik atau serupa.

  1. Classical Conditioning Di Kelas

Proses belajar dengan rumus S-R bisa berjalan dengan syarat adanya unsur-unsur seperti dorongan (drive), rangsangan (stimulus), respon (response), dan penguatan (reinforcement). Pertama, dorongan adalah suatu keinginan dalam diri seseorang untuk memenuhi suatu kebutuhan yang sedang dirasakannya. Seorang anak merasakan adanya kebutuhan akan bahan bacaan ringan untuk mengisi waktu senggangnya, maka ia terdorong untuk memenuhi kebutuhan itu, misalnya dengan mencarinya di perpustakaan terdekat. Unsur dorongan ini ada pada setiap orang meskipun tingkatannya tidak sama: ada yang kuat, ada pula yang lemah . Kedua, adanya rangsangan (stimulus). Kalau dorongan datangnya dari dalam, maka rangsangan datang dari luar. Bau masakan yang lezat bisa merangsang timbulnya selera makan yang tinggi, bahkan yang tadinya tidak terlalu lapar pun bisa menjadi lapar dan ingin segera mencicipinya. Wanita cantik dengan pakaian yang ketat juga bisa merangsang gairah seksual setiap lelaki dewasa (yang normal) . Oleh karena itu, dalam islam wanita tidak diperbolehkan berpakaian yang merangsang, dan bahkan harus menutup seluruh auratnya (Qur’an:24:31). Hal ini untuk menjaga “keamanan”, menjaga nafsu yang sering tidak terkendali sebagaimana sering kita dengar adanya tindakan perkosaan brutal yang tidak berprikemanusiaan.

Dalam sistem intruksional, rangsangan ini bisa terjadi (bahkan bisa diupayakan) pada pihak sasaran untuk bereaksi sesuai dengan keinginan komunikator, guru maupun instruktur. Dalam suatu kuliah siang hari, pada saat para mahasiswa banyak yang mengantuk dan kurang bergairah, sang dosen bisa merangsangnya dengan berbagai cara, dan yang sering dilakukan adalah antara lain dengan mengajukan berbagai pertanyaan yang selektif dan menarik, bercerita ringan atau humor.

Dari adanya rangsangan tersebut kemudian timbul reaksi, dan memang orang bisa timbul reaksinya atas suatu rangsangan. Bentuk reaksi berbeda-beda tergantung pada situasi, kondisi dan bahkan bentuk rangsangan tadi. Reaksi-reaksi yang terjadi pada seseorang akibat adanya rangsangan dari lingkungan sekitarnya inilah yang disebut dengan respon dalam teori belajar. Maka unsur yang Ketiga, adalah masalah respon. Respon ini bisa dilihat atau diamati dari luar. Respon ini ada yang positif dan ada pula yang negatif. Respon positif terjadi sebagai akibat “ketepatan” seseorang melakukan respon (mereaksi) terhadap stimulus yang ada, dan tentunya yang sesuai dengan yang diharapkan. Sedangkan respon negatif adalah apabila seseorang bereaksi justru sebaliknya dari yang diharapkan oleh pemberi rangsangan. Kempat, adalah masalah penguatan (reinforcement).

Unsur ini datangnya dari pihak luar kepada seseorang yang sedang melakukan respon. Apabila respon telah benar, maka perlu diberi penguatan agar orang tersebut merasa adanya kebutuhan untuk melakukan respons seperti tadi lagi. Seorang anak kecil yang sedang mencoret-coret buku kepunyaan kakaknya, tiba-tiba dibentak dengan kasar, bisa terkejut bahkan bisa menderita guncangan sehingga ia tidak akan mencoret-coret buku lagi. Bahkan kemungkinan yang paling jelek di kemudian hari barangkali ia akan benci terhadap setiap yang namanya tulis menulis. Hal ini adalah bentuk penguatan yang salah. Barangkali akan lebih baik apabila cara melarangnya dengan kata-kata yang tidak membentak. Dengan demikian si anak akan merasa dilarang menulis, dan itu namanya anak diberi penguatan positif sehingga ia merasa perlu untuk melakukan coretan seperti tadi, tapi di tempat lain. Setiap kali seorang siswa mendapat nilai A pada mata pelajaran matematika, ia mendapat pujian dari guru; maka selanjutnya ia akan berusaha mempertahankan prestasinya itu. Dengan kata lain, ia melaksanakan semuanya itu karena dipuji (diberi penguatan) oleh guru.

Proses belajar akan terjadi secara terus menerus apabila stimulus dan respon ini berjalan dengan lancar. Ia berproses secara rutin dan tampak seperti otomatis tanpa membicarakan hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya proses tadi. Namun dalam hal ini tidak dibicarakan bahwa yang namanya belajar banyak melibatkan unsur pikiran, ingatan, kemauan, motivasi, dan lain-lain.

Aplikasi/penerapan klasikal kondisioning di kelas adalah dengan cara:

Ø Menjadikan lingkungan belajar yang nyamn&hangat, sehingga kelas menjadd satu ksatuan (saling berhubungan) dengan emosi positf (adanya hubungan persahabatan/kekerabatan)

Ø Pada awal masuk kelas, guru tersnyum dan sebagai pembukaan bertanya kepada siswa tetang kabar keluarga, hewan peliharaan/hal pribadi dalam hidup mereka.

Ø Guru berusaha agar siswa merespek satu sama lain pada prioritas tinggi di kelas, misalnya, pada diskusi kelas guru merangsang siswa untuk berpendapat

Ø Pada sesi tanya jawab, guru berusaha membuat siswa berada dalam situasi yang nyaman dengan memberikan hasil (positf outcome – masukn positif). Misalnya, jika siswa diam/tidak aktif, maka guru bisa memulai dengan pertanyaan ”apa pendapatmu tentang masalah ini”, atau bagaimana kamu membandingkan dua contoh ini”. Dengan kata lain, guru memberi pertanyaan yang dapat memancing siswa untuk berpendapat. Namun jika dengan cara inipun siswa tidak sanggup/ segan untuk merespon, maka tugas guru untuk membimbing/ memacu sampai siswa memberi jawaban yang dapat diterima.

  1. Generalisasi, Diskriminasi, dan Extinction

Generalisasi

Yang dimaksud dengan generalisasi adalah suatu proses berpindahnya/ berlakunya suatu respon secara umum terhadap stimulus/rangsangan lain.

Deskriminasi

Yang dimaksud dengan deskriminasi adalah suatu proses dimana kita mempelajari bahwa, suatu rangsangan itu tidak selalu direspon dengan cara yang sama.

Extinction

Yang dimaksud dengan extinction adalah Suatu proses dimana suatu respon berakhir. Atau dengan kata lain, extinction adalah hilangnya suatu respon pengkondisian.

2. Aplikasi Teori Behavioral Klasik Dalam Pendidikan

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan teori behavioral adalah ciri-ciri kuat yang mendasarinya yaitu:

Ø Mementingkan pengaruh lingkungan

Ø Mementingkan bagian-bagian

Ø Mementingkan peranan reaksi

Ø Mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon

Ø Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya

Ø Mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latihan dan pengulangan

Ø Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.

Sebagai konsekuensi dari teori ini, para guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajaran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah, tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupun melalui simulasi. Bahan pelajaran disusun secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks. Sementara itu, tujuan pembelajaran dibagi dalam bagian kecil yang ditandai dengan pencapaian suatu ketrampilan tertentu. Pembelajaran berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati, serta kesalahan harus segera diperbaiki.

Pengulangan dan latihan digunakan supaya perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan. Hasil yang diharapkan dari penerapan teori behavioristik ini adalah tebentuknya suatu perilaku yang diinginkan. Dimana perilaku yang diinginkan mendapat penguatan positif dan perilaku yang kurang sesuai, mendapat penghargaan negatif. Dalam hal ini, evaluasi atau penilaian didasari atas perilaku yang tampak/kelihatan.

3. Implikasi Teori Behaviral Klasik Dalam Pendidikan

Penerapan teori behaviroristik yang salah dalam suatu situasi pembelajaran juga mengakibatkan terjadinya proses pembelajaran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai sentral, bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarkan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif. Penggunaan hukuman yang sangat dihindari oleh para tokoh behavioristik justru dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk menertibkan siswa.

4. Kesimpulan

Metode behavioristik ini sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.

B. Pandangan Psikologi Belajar menurut Maria Montessori

Maria Montessori

Maria Montessori (Chiaravalle, Ancona, Italia, 31 Agustus 1870Noordwijk, 6 Mei 1952) adalah seorang pendidik, ilmuwan, dokter Italia. Ia mengembangkan sebuah metode pendidikan anak-anak dengan memberi kebebasan bagi mereka untuk melakukan kegiatan dan mengatur acara harian. Metode ini kelak dikenal dengan Metode Montessori.

Maria Montessori mengenyam pendidikan teknik pada sebuah sekolah teknik dan lulus dengan pujian. Setelah itu ia masuk ke dalam Regio Instituto Tecnico Leonardo da Vinci pada 1886 hingga 1890 untuk mempelajari bahasa dan ilmu alam.

Pada 1890, ia melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswa kedokteran. Sebuah hal yang dipuji dan mengagetkan karena ia adalah mahasiswa kedokteran wanita Italia yang pertama. Pada masa itu, sebuah hal yang mustahil bagi wanita Italia untuk memperoleh pendidikan kedokteran. Ia lulus dari sekolah kedokteran dengan pujian.

Sebagai dokter, ia berkonsentrasi dengan masalah keadaan anak-anak dengan mental terbelakang di panti asuhan. Kebanyakan anak-anak tersebut terganggu mentalnya karena kesalahan orang dewasa. Pada 1900, ia menjadi sekolah khusus bagi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar di Roma. Ia menggunakan caranya sendiri dan berhasil mendidik anak-anak tersebut dengan hasil yang sebaik anak-anak biasa. Hingga menjelang akhir hidupnya, Maria Montessori terus memberikan kuliah tentang metodenya dan membuka sekolah Montessori di seluruh dunia.

Karya- karya Maria Montessori

Ø Il metodo della pedagogia scientifica (1909);

Ø Antropologia pedagogica (1910).

Ø Dr. Montessoris own handbook, 1914;

Ø L'autoeducazione nelle scuole elementarii (1916);

Ø The child in the church (1929);

Ø Il segreto dell'infanzia (1938);

Ø Formazione dell'Uomo (1949);

Ø The absorbent mind (1949; Bahasa Italia: La mente del bambino, 1952);

Ø L'Educazione e Pace (1949; 1972);

Ø De l'Enfant à l'Adolescent (1948);

Pemikiran Maria Montessori telah memberikan kontribusi yang besar terhadap revolusi pendidikan dewasa ini. Ia menganggap bahwa anaklah yang membangun orang dewasa bukan orang dewasa yang membangun anak. Anak makhluk yang konstruktif yang memerlukan bantuan orang dewasa agar perkembangannya optimal. Pendidikan yang selama itu terjadi dalam pandangan Montessori, telah membelenggu perkembangan anak. Guru dan orang dewasa yang egosnetris, otoriter, dan berperan sebagai ahli adalah merupakan kekeliruan besar.

Hal tersebut di atas menyebabkan ia menekankan perlunya pola pendidikan baru, yaitu sistem pendidikan sejak usia dini yang sesuai dengan perkembangan anak dimana peran orang dewasa sangat penting dalam membantu perkembangan mereka secara optimal. Berikut adalah pokok-pokok pikiran (asumsi) Maria Montessori yang menegaskan perlunya pendidikan pola baru tersebut.

Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan yang Memfokuskan pada Anak dan Peran Orang dewasa

Masalah utama dalam pendidikan adalah bukan pendidikannya itu sendiri, tapi masalah hubungan antara anak dengan orang dewasa. (Ucapan Marian Minetssori dalam E.M. Standing, “Maria Montessori: Her Life and Work”, hal. 250). “Anak adalah anak, bukan miniatur orang dewasa. Anak juga bukan layaknya bagaikan sesuatu benda kosong, dimana orang dewasa harus mengisinya dengan sesuatu.” (Course Manual, hal. 11).

Maria Montessori memandang bahwa pendidikan adalah kunci utama untuk regenerasi kehidupan manusia. Kegagalan sistem pendidikan yang tidak mampu membangun masyarakat pada masa itu disebabkan karena terdapat adanya kekeliruan sistem pendidikan yang tidak memfokuskan pada masalah pendidikan sejak anak usia dini. (Course manual, hal 11). Jika pendidikan ingin berhasil, maka harus didasarkan pada anak (Montessori, “education for New world”, Hal. 4).

Namun, Montessori juga menegaskan bahwa pendidikan saja tidak cukup jika orang tua dan guru (sebagai orang dewasa) memiliki asumsi yang salah terhadap anak. Orang dewasa harus meninggalkan anggapannya bahwa anak bagaikan benda kosong yang menunggu untuk diisi dengan pengetahuan dan pengalaman orang dewasa. Mengapa? Karena penting untuk dipahami bahwa anak memiliki potensinya masing-masing.

Disamping itu, Montessori menegaskan pula pentingnya orang dewasa (guru dan orang tua) untuk menghilangkan egosentris dan keotoriterannya terhadap anak. Orang dewasa harus berperan sebagai orang kedua yang memperlakukan anak dengan lemah lembut untuk membantu tahapan perkembangannya dengan baik.

Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan yang Membebaskan Anak dari Ketergantungan terhadap Orang Dewasa

Setiap orang dewasa berasal dari seorang anak dulunya, Jadi, anaklah yang membntuk dirinya menjadi dewasa. Anak menyerap pengalaman apapun yang ia alami di dunia dan pengalaman tersebut berpengaruh terhadap perkembanganya ketika dewasa kelak. Berdasrkan asumsi ini, Monetssori menegaskan pentingya untuk membebaskan anak dari peran ketergantungannya terhadap orang dewasa, jika anak tersebut kita inginkan agar menjadi orang yang benar-benar mandiri kelak.

Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan Anak yang Memberikan Peluang untuk Mengoptimalkan Kekuatan Unik pada Dirinya untuk Mengembangkan Diri

Montessori menyatakan pentingnya orang dewasa menyadari bahwa kapasitas belajar anak sangat berbeda dengan orang dewasa, ia memiliki kekuatan unik untuk mengembangkan dirinya. Beberapa hasil observasi Montessori menunjukkan sebagai berikut:

Ø Anak menggunakan lingkungannya untuk menyempurnakan dirinya, sementara orang dewasa memanfaatkan dirinya untuk menyempurnakan lingkungannya. Orang dewasa adalah maklhuk yang tidak lagi berkembang, tetapi anak adalah makhluk sedang dalam keadaan senantiasa berkembang secara konstan. Ia berinteraksi dengan lingkungannya dan menyerap semua kesan yang dialaminya dan berpengaruh terhadap perkembangan dirinya.

Ø Tujuan anak melakukan sesuatu (bekerja) bersifat internal bukan eksternal seperti halnya orang dewasa. Orang dewasa melakukan sesuatu (bekerja) untuk menyelesaikan aktifitasnya, tapi anak melakukan aktifitas untuk perkembangannya. Melalui aktifitas kerjanya ia mengembangkan konsentrasi, mengembangkan perkembangan motorik, membangun kebiasaan, dan lebih penting lagi membangun konsep diri.

Ø Anak lebih tertarik pada proses dalam melakukan aktifitas, sedangkan orang dewasa lebih tertarik pada hasil dari aktifitasnya.

Ø Anak mengikuti hukum usaha maksimum. Agar berhasil melakukan sesuatu ia meningkatkan usahanya. Dengan demikian agar berkembang optimal, ia harus melakukannya sendiri dan tak ada seorang pun yang dapat melakukannya untuk dirinya (tak dapat diwakilkan). Segala bantuan yang diberikan kepadanya justeru menghambat perkembangan optimal mereka.

Ø Ritme aktifitas anak dalam melakukan sesuatu berbeda dengan orang dewasa. Sebagai contoh, anak umur 3,5 tahun yang harus membawa 10 benda ke suatu tempat maka ia akan melakukan pengambilan dan menempatkannya sebanyak sepuluh kali. Sedangkan, orang dewasa, karena kematangan kemampuan strateginya, mungkin cukup sekali. Kesimpulannya, anak memiliki pola perkembangan yang bertahap untuk dapat menguasai atau mahir dalam melakukan sesuatu.

Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan Anak yang Memberikan Peluang kepada Mereka untuk Berinteraksi dengan Lingkungannya secara Bebasa dengan Penuh Kesabaran, Simpati, Kehangatan dan Kasih Sayang

Anak memiliki potensi, Montessori menyebutnya sebagai ”ruhnya anak/spiritual embryo”, yang tidak disadari oleh dirinya. Implikasinya, agar anak (sebagai calon orang dewasa masa depan) akan membangun dunia yang lebih baik jika diberikan kesabaran, simpati, kehangatan dan kasih sayang untuk berkembang. Untuk itu diperlukan dua kondisi. Pertama, anak perlu berinteraksi dengan lingkungan untuk dapat memahami alamnya. Kedua, ia perlu kebebasan untuk menemukan dirinya. Jika dua kondisi ini hilang, maka perkembangannya tidak optimal.

Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan anak yang Mampu Memberikan Kondisi dan Perlakuan (Bantuan) yang Tepat

Montessori menyatakan bahwa berbeda dengan orang dewasa, anak memiliki intelijensi kreatif yang ada dalam tahap mental bawah sadar mereka. Saat itu adalah saat sensitif (sensitive periode) bagi anak. Interaksi dengan lingkungannya akan membantu perkembangan mereka. Oleh karena itu, orang dewasa (guru/orang tua) perlu diberikan kondisi lingkungan plus perlakuan yang tepat atau sesuai agar semua aspek perkembangan mereka berkembang secara optimal.

Kesimpulan

Menurut Montessori, permasalahan utama pendidikan adalah bukan terletak dari sistem pendidikannya itu sendiri, tapi karena tidak adanya fokus terhadap anak dan hubungan antara orang dewasa dengan anak. Oleh karena itu untuk membangun masyarakat, perlu ada revolusi pola pendidikan sebagai berikut:

Ø Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan yang Membebaskan Anak dari Ketergantungan terhadap Orang Dewasa

Ø Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan Anak yang Memberikan Peluang untuk Mengoptimalkan Kekuatan Unik pada Dirinya untuk Mengembangkan Diri

Ø Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan Anak yang Memberikan Peluang kepada Mereka untuk Berinteraksi dengan Lingkungannya secara Bebasa dengan Penuh Kesabaran, Simpati, Kehangatan dan Kasih Sayang

Ø Pendidikan Pola Baru adalah Pendidikan anakyang Mampu Memberikan Kondisi dan Perlakuan (Bantuan) yang Tepat

DAFTAR PUSTAKA

Ø Crow, D. Lester, .Crow, Alice: Kasijan Z.. Psikologi Pendidikan. PT. Bina Ilmu. 1984

Ø Djamarah, Syaiful Bahri. Psikologi Belajar. Rineka Cipta. 2002.

Ø Eggen ,P., Kauchak, D.. Educational Psychology,Third Edition. Prentice Hall. 1997.

Ø Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, edisi Revisi. Remaja Rosdakarya, 1997.

Ø Suryabrata, S..Psikologi Pendidikan. PT. Raja Grafindo Persada. 1995.

This entry was posted on Kamis, 07 April 2011 at 12.09 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Entri Populer