Pendidikan Multikultural  

Posted by M.S Umam

m.s.umam

Pernah satu ketika saya bertemu dengan teman lama saya. Kita bertemu dengan kondisi yang sama; tengah melaksanakan proses perampungan studi. Namun, karena saking lamanya tidak pernah bertemu, rasa kangen itu kami tuangkan dalam sebuah pendiskusian yang sangat menarik. Namun, hal tersebut tentunya kita awali dengan cerita- cerita tentang proses pendidikan yang kita alami. Dalam proses pembicaraan tersebut, akhirnya saya menemukan satu pokok bahasan yang saya anggap bisa menjadi masalah yang serius ketika hal tersebut (yang tengah dan telah diceritakan oleh teman saya) akan terus terjadi dalam dunia pendidikan.

Testimoni teman saya tersebut dimulai dari masuknya dia ke sebuah Perguruan Tinggi Agama Islam Negri di sebuah kota metropolitan. Singkat cerita, di Perguruan Tinggi tersebut, tentunya banyak proses dialektis yang telah dia lakukan dengan teman- teman atau dosen- dosen yang telah terlebih dahulu melaksanakan proses pendidikan di situ. Hal tersebut ditambah dengan mulai banyaknya refrensi buku yang turut serta menjadi faktor penyebab teman saya tadi memiliki pikiran (sedikit) liberal, berani, dan mulai “nakal”. Hemat saya, teman saya tadi berfikiran bahwa, pada dasarnya lambang atau simbol dalam setiap komunitas, agama, etnis, ras, adalah spirit untuk melakukan perubahan. Dengan demikian dia mencoba keluar dari tatanan disiplin keagamaan yang telah dia peroleh selama ini. Dia menganggap ”salib” sebagai simbol perlawanan terhadap segala bentuk penindasan dan spirit untuk membebaskan manusia dari belenggu siksa (dosa). Tidak heran, hal tersebut saya maklumi. Sebagai sosok pemuda, mahasiswa baru tentunya memiliki dorongan idealisme sebagai sosok mahasiswa dan masih membara dalam pikiran dan sikapnya.

Hemat cerita, perbuatannya yang sedemikian rupa diketahui oleh dosen atau pengajar. Tanpa banyak kata, perbuatan teman saya tadi kemudian dilaporkan ke pihak birokrasi pusat karena dianggap perbuatan teman saya tadi sudah keluar dari nilai etik yang dibangun di dalam kampus. Tiga hari berselang, teman saya mendapatkan surat panggilan dari kantor pusat. Dia pun akhirnya memenuhi panggilan pihak birokrasi pusat tersebut. Berbagai macam pertanyaan telah diajukan oleh pihak birokrasi pusat, namun tetap saja, teman saya tadi masih berkelit dan dapat menjawabnya. Sampai pada akirnya ada satu pernyataan yang kiranya tidak sepantasnya diungkapkan oleh seorang pendidik. ”Kamu sudah KAFIR” karena sudah memakai simbol dari orang- orang Nasrani. Sontak teman saya semakin beringas menghadapi orang ini. Dengan tegas, teman saya menjawab; ”Nabi SAW pernah bersabda bahwa, barang siapa seorang muslim mangkafirkan muslim yang lain, maka dia sendiri yang kafir”.

Istilah pendidikan dalam bahasa Inggris adalah ”education”, berasal dari bahasa latin, ”educare” yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth).[1] Sejalan dengan pernyataan diatas, lebih luas lagi Paolo Freire menyatakan dengan tegas bahwa, pendidikan pada dasarnya adalah proses memanusiakan kembali manusia yang telah dan tengah mengalami dehumanisasi.[2] Dalam konteks ini, Freire menyatakan bahwa, faktor memanusiakan manusia adalah proses yang sangat asasi, yang seharusnya diwujudkan dalam proses pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai wahana penempaan diri setiap individu peserta didik, yang nantinya diharapkan menjadi manusia seutuhnya[3].

Fenomena peng- kafir- an diatas, adalah salah satu wujud dari penghakiman terhadap perilaku peserta didik, yang seharusnya tidak dilakukan oleh pendidik. Anggitan saya bahwa, pendidik seharusnya adalah mediator transformasi nilai, keilmuan, dan pengetahuan sehingga peserta didik menjadi manusia seutuhnya. Dengan adanya proses tindak penghakiman semacam itu, ada beberapa dampak yang timbul dalam proses selajutnya, diantaranya adalah: Pertama, proses pengembangan potensi dan kretifitas peserta didik semakin menurun. Kedua, dan faktor yang (anggitan saya) menjadi sangat problematis adalah, ketika mental eksklusif tumbuh dalam diri peserta didik. Hal yang terakhir disebutkan di atas, muncul ketika dalam sub unit pendidikan (baca: sekolah) sudah tidak mampu menjadikan proses pengembangan diri peserta didik menjadi semakin lebih baik. Penghakiman semacam itu pada dasarnya adalah sebuah perilaku yang memangkas proses dialektika pemikiran yang dilakukan oleh pendidik. Secara psikologis, yang jelas, peserta didik akan mengalami kondisi shock karena adanya intimidasi semacam itu. Ketika telah mengalami kondisi yang demikian, peserta didik akan secara otomatis mengalami proses alienasi dari segi kognisi, afeksi, dan sampai pada titik psikomotoriknya.

Dari segi kognisi, peserta didik akan merasa sangat bersalah dan akan menghentikan proses dialektika pemikiran yang telah dia lakukan. Hal ini disinyalir dengan penghakiman secara sepihak oleh pendidik tanpa melihat secara komperhensif latar belakang peserta didik. Dari segi afeksi, mental peserta didik akan semakin hancur ketika dia mengalami penghakiman semacam itu. Dampak selanjutnya adalah terbangunnya mental eksklusif dalam diri peserta didik. Dengan runtutan kausalitas fenomena diatas, maka proses pendidikan akan semakin mengenaskan.

Disamping itu, pendidikan sampai hari ini ternyata masih bersifat monokultural[4] dalam menjalankan proses dan dinamikanya. Padahal, kita yakini bahwa bangsa Indonesia ini terdiri dari beragam suku, ras, agama, yang tersebar di penjuru belahan kepulauan Indonesia. Pluralisme masyarakat ini seharusnya menjadikan spirit awal segenap lembaga pendidikan untuk menanamkan sikap yang menghargai perbedaan kepada setiap peserta didiknya. Hal ini dilandasi oleh pemahaman bahwa, pluralisme masyarakat adalah salah satu ciri masyarakat multikultural.[5] Dengan persepsi dasar tersebut, hemat saya, fenomena yang terjadi di atas, tidak hanya terjadi pada teman saya saja; secara lebih luas, banyak kita jumpai bagaimana kekerasan (baik secara psikis maupun fisik) dalam dunia pendidikan, yang dilatar belakangi perbedaan suku, ras, agama, dan antar golongan. Lembaga pendidikan seharusnya juga mengedepankan sisi- sisi hak asasi manusia (civil right), yang dapat diwujudkan melalui lembaga pendidikan mengedepankan pemahaman tentang multikulturalisme.



[1] Suparlan Suhartono, M.Ed., Ph.D., Filsafat pendidikan, Ar- Ruzz Media Group, Jogjakarta, 2007, hal 77.

[2] Paolo Freire, Pendidikan yang Membebaskan, Pendidikan yang Memanusiakan.

Paolo Freire, Ivan Illich, Erich Fromm, dkk, Menggugat pendidikan fundamentalis, konservatif, liberal, anarkis, pustaka pelajar, yogyakarta, 2003, hal 434 – 459.

[3] Manusia seutuhnya disini dimaksudkan adalah upaya pemenuhan dan pemunculan segala potensi dan kreatifitas dalam diri peserta didik.

[4] Monokulturalisme menghendaki kesatuan budaya secara normatif. Istilah monokultural juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre- existing homogenity). Wikipedia berbahasa Indonesia.

[5] Masyarakat multikultural yaitu sebuah konsep yang menunjukkan pada satu tata nilai yang beragam terkait dengan suku, ras, agama, dan antar golongan, yang memiliki spirit sama untuk membangun bangsa dan negara. Dalam wikipedia berbahasa Indonesia dinyatakan bahwa, multikulturalisme adalah sebuah filosofi (terkadang ditafsirkan sebagai ideologi) yang menghendaki adanya persatuan berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern. Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan etnis masyarakat yang berbeda dalam satu negara.

This entry was posted on Kamis, 07 April 2011 at 11.33 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Entri Populer