AHMADIYAH YANG TERANIAYA  

Posted by M.S Umam


m.s.umam*

Gubernur Jawa Timur, Soekarwo telah mengeluarkan Surat Keputusan no 188/94/KPTS/013/2011 (Radar Surabaya,01 Maret 2011) tentang pelarangan aktifitas dakwah, pemakaian symbol dan atribut Jamaah Ahmadiah Indonesia yang ada di Jawa Timur. Hal tersebut kembali menjadi salah satu pemicu pro-kontra terkait pola relasi Negara-Agama dan proses penegakan Hukum di Indonesia.

Ada dua pertanyaan besar yang mungkin bisa kita ambil dalam proses penyikapan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI). Pertama, bagaimana seharusnya pola relasi Negara-Agama yang ada di Indonesia? Kedua, bagaimana proses penegakan Hukum di Indonesia. Pertanyaan pertama sebenarnya adalah pertanyaan klasik yang kemudian di usung kembali. Kita semua sadar dan paham bagaimana pola relasi Negara yang secara dominative berada diatas Agama (pra abad pertengahan). Kemudian, bagaimana Agama secara otoritasnya berada diatas Negara pada era abad pertengahan. Begitu pula, bagaimana Negara terpisah dari Agama (ba’da abad pertengahan).

Islam dan Negara

Proses pendiskusian pola pertama dan kedua kiranya telah usai. Namun, yang hari ini kiranya mulai penting untuk dikaji adalah, pada pola yang ketiga, bagaimana Negara secara otoritasnya tidak bersinggungan sama sekali dengan Agama. Dimana Negara sebagai urusan public dan Agama sebagai urusan pribadi yang bersifat internum. Dalam pola ini, Masdar F. Mas’udi menyatakan bahwa, Agama tidak lagi bisa memperalat Negara untuk melakukan kedzaliman atas nama Tuhan. Demikian pula Negara, tidak lagi bisa memperalat Agama untuk kepentingan penguasa. Beliau juga menyatakan bahwa pola hubungan sekularistik pada mulanya adalah “Wisdom” yang didapat oleh masyarakat Barat dari sejarah panjang hubungan antara Raja dan Gereja. Bagi Umat Islam sendiri, dikotomi Barat-Timur sesungguhnya bukan merupakan kategori benar-salah dan baik-buruk. Melainkan ketakwaan-lah yang menjadi skala prioritas kebaikan seseorang (Q.S. Al-Baqarah;176-177).

Mengkaji sekularisme di atas, kiranya kita harus memahami konteks Barat dan Timur, agar dalam proses ini tidak kemudian menjebak kita dalam dikotomi yang naïf. Pertama, konteks sekularisme di Barat adalah bentuk penyelesaian konflik antar Negara di satu sisi dan Gereja sebagai representasi Agama di sisi lain. Perlu kita pahami bersama, otoritas yang sentralistik-monolitik yang diberlakukan Gereja (terutama Gereja Abad Pertengahan) tidak ada sama sekali di dalam dunia Islam. Dalam pola yang demikian, bukan berarti dalam Islam tidak ada otoritas sama sekali. Akan tetapi, pola yang ada, terdesentralisasi sedemikian rupa oleh pribadi- pribadi tokoh atau ulama atau golongan organisasi- organisasi, yang bisa saja terjadi perbedaan fatwa, sikap, dan atau bahkan acap kali saling menyesatkan antara satu dengan yang lain. Hal tersebut dapat kita lihat pada proses penyesatan pertama kali dalam tubuh Islam; golongan Khawarij yang mengkafirkan atau menganggap sesat golongan Ali dan Mu’awiyah. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa pernah terjadi dalam sejarah Islam, otoritas Negara berhadapan langsung dengan otoritas Agama (Islam).

Kedua, Barat sebagai Negara modern, lahir dalam konteks dimana Negara telah melaksanakan pemakzulan terhadap Agama (Gereja), sedangkan di Timur (dunia Islam), termasuk di Indonesia, Negara modern lahir dan berkembang karena adanya heroism keagamaan untuk memaksa penjajah yang dalam hal ini adalah Barat, untuk kemudian menyatakan kemerdekaan. Ketiga, dalam konteks sekularisme di Barat memang ada beberapa alasan, dimana otoritas Agama lebih mendominasi otoritas Negara baik dalam ranah politik dan ekonomi. Sementara itu, Agama sudah hilang dari misi Nubuwwah-nya sebagai pembela masyarakat tertindas (Mustadz’afiin). Beberapa alasan di atas, tidak kemudian kita maksudkan untuk menolak Sekularisme sebagai bentuk penyelesaian dikotomi Negara-Agama dan bukan berarti kita harus kembali pada pola Teokratisme, dimana Agama secara formal telah menaklukkan Negara. Tidak arif kiranya jika kita mencoba menyederhanakan problem Negara, apakah dengan menggunakan sekularisme atau teokratisme.

Masih mengutip Masdar F. Mas’udi bahwa, Islam dalam memandang kasuistik pola relasi Negara-Agama dapat kita pilah menjadi tiga hal. Pertama, dalam ajaran yang bersifat privat, yaitu proses keyakinan. Dalam konteks ini, Negara tidak memiliki kewenangan untuk mengintervensi, bahkan tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mejangkaunya.

*Koordinator Daerah Komunitas Anak Negeri Peduli HAM dan Sekretaris PMII Cabang Surabaya.

This entry was posted on Rabu, 06 April 2011 at 11.47 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Entri Populer