Mahasiswa; Kesadaran dan Tanggung Jawabnya  

Posted by M.S Umam

Mahasiswa; Kesadaran dan Tanggung Jawabnya
we’e; ms.umam

al Haqqu bi la Nidhomin yaghlibuhu al Bathil bi Nidhomin

Pembahasan tentang sosok mahasiswa, peran dan fungsinya dalam realitas social dimana mereka berada, kiranya sudah banyak dibahas dalam forum – forum discusi, kajian, artikel, dan opini. Namun, sekup bahasan tersebut kelihatannya tak lapuk oleh zaman. Entah, dari mana penulis menyebutkan, dan dari mana kita memandang. Yang jelas, mahasiswa adalah sosok yang sangat ideal dalam melakukan segala bentuk – bentuk perubahan. Terlepas perubahan tersebut dari dirinya sendiri sebagai seorang mahasiswa, maupun perubahan ditingkatan realitas social dimana mereka berada.
Penulis sadar bahwa, masa transisi dari siswa menuju mahasiswa menjadi sangat berat ketika kita semua tidak paham akan satu hal yang seharusnya menjadi pondasi bagi semangat dan gerak langkah menjadi seorang mahasiswa. Tri Dharma Perguruan Tinggi dianggap sebagai salah satu pondasi awal dalam menapaki sebuah kondisi baru sebagai seorang mahasiswa. Mahasiswa baru yang terkejut dengan budaya yang tidak pernah mereka kenal sebelumnya (Shock Culture), ternyata juga menyimpan beribu pertanyaan yang sangat mendasar. Benturan kesadaran yang tengah dibentuk dimasa transisi dari siswa menuju mahasiswa tersebut, membuat banyak mahasiswa kemudian apatis terhadap segala hal yang ada disekelilingnya. Nah, sikap apatis semacam ini akan menjadi virus yang mematikan segala potensi dan kreatifitasnya sebagai seorang mahasiswa. Dengan sikap apatis tersebut, semangat dalam diri akan hilang, dan berimbas pada titik kemalasan. Padahal, malas adalah musuh paling utama bagi mahasiswa.

Merubah kesadaran
Masa transisi dari siswa menuju mahasiswa pada dasarnya hanya disandarkan pada dua elemant: Pertama, aktifitas. Jika sebelum menjadi mahasiswa, aktifitas yang dilaksanakan hanya berada disekitar rumah dan sekolah, maka setelah menjadi mahasiswa, aktifitasnya harus ditingkatkan kearah yang lebih luas lagi. Hemat penulis, mahasiswa seharusnya bisa lebih hyperaktif untuk meneguhkan identitasnya sebagai seorang mahasiswa. Tentunya sikap semacam itu dituntut untuk lebih banyak beraktifitas, meski berada diluar dunia perkuliahan. Sikap yang demikian akan berimplikasi besar terhadap masa depannya. Karena, dengan semakin banyak kita beraktifitas, maka semakin banyak pengalaman yang akan didapat dan banyak sekali pelajaran – pelajaran berharga yang tidak mungkin diajarkan dalam ruang sempit perkuliahan.
Kedua, kesadaran. Hampir tidak pernah kita singgung bahwa, kesadaran kita selama ini dibatasi hanya berada dalam ruang – ruang kelas yang sempit, panas, apek, dan memuakkan. Kesadaran siswa, cenderung hanya berada dalam kelas – kelas tersebut. Mahasiswa, seharusnya memiliki kesadaran yang jauh melampaui kelas – kelas dan gedung – gedung kampus yang pada dasarnya akan semakin menjauhkan kita dari realitas sebenarnya. Anggitan penulis, dari sinilah yang kemudian mendasari bahwa, mahasiswa selain beraktifitas didalam dunia perkuliahan, juga dituntut untuk mengembangkan segala potensi dan kreatifitasnya diluar aktifitas didalam kelas. Dengan demikian, mahasiswa tidak diragukan lagi untuk dapat diterjunkan dalam masyarakatnya kelak. Dan gambaran semacam inilah yang dianggap penulis sebagai sebuah kesuksesan bagi seorang mahasiswa.
Jika kita mau sedikit menilik kebelakang, Paolo Freire telah mengklasifikasikan kesadaran manusia menjadi tiga macam. Pertama, kesadaran Magis (Magical Consciousness). Manusia dalam kesadaran ini adalah mereka yang tidak paham akan kediriannya (baca : yang terjadi pada dirinya sekarang) dan tidak pernah mau tahu apa yang melatarbelakanginya. Sebagai contoh: manusia yang tidak tahu bahwa dia bodoh, dan tidak mau tahu apa yang membuatnya menjadi bodoh. Kebiasaan manusia ini adalah selalu menganggap bahwa, apa yang terjadi pada dirinya adalah semua kehendak Tuhan YME (baca ; Nasib).
Kedua, kesadaran Naif (Naifal Consciousness). Mereka yang berada dalam kesadaran ini pada dasarnya mengetahui tentang keadaan yang terjadi pada dirinya. Namun, mereka tidak tahu dan tidak mau tahu akan keadaannya yang sedemikian rupa. Sebagai contoh: manusia yang tahu bahwa dia bodoh, akan tetapi tidak mau tahu apa yang membuatnya menjadi bodoh. Kecendrungan manusia semacam ini adalah sikap apatis yang kemudian berujung pada sikap putus asa. Ketiga, kesadaran Kritis (Critical Consciousness). Adalah satu pola kesadaran manusia yang tahu akan keadaan dirinya dan mau untuk melakukan perubahan. Sebagai contoh: manusia yang tahu bahwa dia bodoh, dan ingin tahu mengapa dia menjadi bodoh. Pola kesadaran ini bisa diidentifikasi dalam pola manusia yang selalu menginginkan suasana dinamis-progresif dalam alur perjalanan hidupnya.

Tanggung jawab besar berada di pundak mahasiswa
Merujuk pada spirit Tri Darma Perguruan Tinggi -Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian- Mahasiswa; siapapun orangnya, apapun ras dan sukunya, dari mana ia berasal, secara otomatis memiliki tiga Tanggung Jawab yang dipikulnya. Pertama, Tanggung Jawab Intelektual. Mahasiswa sebagai insan akademika, dituntut untuk melakukan pengembangan potensi dan kreatifitas dalam berbagai disiplin keilmuan. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa tidak gagap ketika dihadapkan dengan kondisi problematika dalam masyarakat. Kedua, Tanggung Jawab Moral. Yang dimaksud dengan Tanggung jawab moral disini adalah menjaga distansi dengan kekuasaan (Penguasa). Mahasiswa adalah sebagai penjembatan antara rakyat dengan penguasa (Agent of Sosial Control), disinilah ujian moral sebagai mahasiswa.
Ketiga, Tanggung Jawab Sosial. Disini adalah; ungkapan dan kata Mahasiswa tidak berangkat dari ruang yang kosong dan tidak berdiri sendiri. Tak lain, kata tersebut lahir dari sebuah kondisi masyarakat yang secara pendidikan, telah menempuh pada jenjang yang lebih tinggi dari pada siswa. Disini mereka (mahasiswa), dinilai dan dituntut mampu menjawab segala problematika yang ada dalam realitas masyarakat dimana mereka berada.
Kita (baca; Mahasiswa) akan bisa melaksanakan ketiga tanggung jawab tersebut dengan mudah, jika kita bisa mengembangkan segala potensi yang ada dalam diri kita. Proses penggalian dan pengembangan potensi tidak mungkin didapatkan hanya dalam tembok- tembok sempit dunia perkuliahan. Lebih luas lagi, proses tersebut hanya bisa didapatkan dalam proses dialektis berorganisasi. Dengan keseriusan proses berorganisasi tersebut, kita bisa mencerna dan menimba segala ilmu dan pengalaman untuk bekal hidup dalam realitas masyarakat yang sangat kompleks.

This entry was posted on Senin, 26 April 2010 at 20.39 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Entri Populer