Pendidikan dalam Bingkai Kuasa Negara  

Posted by M.S Umam

Pendidikan dalam Bingkai Kuasa Negara
We’e: Umam_Hasta
Kekuasaan dan Negara
Sebuah konsep tentang kekuasaan mungkin sudah sering kita dengarkan dan kita kaji bersama. Kekuasaan sampai detik ini merupakan sebuah tembok besar yang tidak ada pintu untuk keluar dari padanya, fentilasi udara yang sekalipun untuk bernafas sangat susah. Disetiap lini kehidupan, gerak, langkah kita diselimuti olehnya (Kekuasaan. Red.). Berbagai jenis kekuasaan yang berada disekitar kita sangatlah beragam; diantaranya kekuasaan militer, kekuasaan politik, dan kekuasaan ekonomi. Akan tetapi bingkaian kekuasaan politiklah yang dipandang paling dominan.
Senyatanya sampai detik ini sebuah konsep yang tentu didalamnya ada berbagai macam variabel, yaitu kekuasaan telah diperebutkan. Dalam memori kita tentunya masih terngiang, bahwa setiap ada momentum pencalonan wakil rakyat pasti banyak orang, golongan, ataupun partai beramai- ramai untuk turut merayakannya.
Disini juga perlu kita ketahui bahwa kekuasaan politik yang sangat mendominasi bentuk kekuasaan yang lain, ternyata berada dibawah kekuasaan sosial. Gianfranco Poggi membedakan kekuasaan sosial atas tiga macam; kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan normatif atau ideologi.
Disisi lain psikologis kekuasaan adalah selalu saja ingin melanggengkan dan memperlebar kekuasaannya. Hal ini sudah stagnan dan tidak perlu kita belajar banyak karena kita sendiri telah merasakan hasil dari bingkai kekuasaan. Dengan berbagai cara penguasa menggunakan kekuasaannya untuk dapat menundukkan rakyatnya. Albert Camus pernah berkata “Power tend to corrupt and absolutly power absolutly corrupt”(Kekuasaan mengarah kepada korupsi dan kekuasaan yang mutlak jelas mutlak pula kepada korupsi).
Dalam pencapaiannya (melakukan dominasi) penguasa memiliki banyak cara; diantaranya:
 RSA (Repressive State Apparatus)
Represive State Apparatus (Louis Althusser. Red.) adalah aparat negara yang untuk menundukkan rakyat menggunakan bentuk- bentuk penekanan. Aparat negara yang bergerak dibidang ini ada militer, polisi, SATPOL PP, pengadilan, penjara, dan lain sebagainya. Mungkin banyak dari kita yang secara sengaja atau tidak melihat Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) menggusur Pedagang Kaki Lima (PKL). Masih terngiang juga bagaimana polisi dan TNI menghadang gelombang gerakan mahasiswa ’98, dan banyak lagi tindak- tindak penekanan yang dilakukan untuk hanya sebatas rakyat menjadi ketakutan.
Banyak dampak negatif jika hal ini sampai terjadi. Pada masa Orde Baru siapa yang bersuara menentang kebijakan pemerintah saat itu, kalau tidak dipenjara dengan berbagai alasan, barang tentu dia pasti hilang tanpa jejak. Sosok Widji Thukul, sampai saat ini masih samar keberadaannya. Sosok munir, jurnalis yang tak pandang bulu, meninggalnya sampai detik ini masih kontrofersial. Nah disinilah kesempatan penguasa karena memiliki power untuk tetap melangengkan dan memperlebar kekuasaannya.
 ISA (Ideological State Apparatus)
Ideologi; banyak pemaknaan didalamnya. “Jalan Kebenaran” seringkali kita menyebutnya demikian. Sehingga hal ini sama halnya dengan firman Tuhan yang wajib kita percayai. Dilain sisi ideologi dimaknai sebagai pengarahan suatu masyarakat atau bangsa dan mengantarkannya kepada satu tatanan obsesif. Keyakinan bangsa atau negara untuk mempertahankan diri dari arus globalisasi, turut serta menjadi salah satu makna ideologi.
Dengan berbagai pemaknaan ideologi yang ada diatas, dapat kita simpulkan bahwa Ideological State Apparatus (Louis Althusser. Red.) adalah aparat negara yang untuk menundukkan rakyat menggunakan jalur ideologi. Bentuk dominasi yang semacam ini yang nantinya akan melahirkan sebuah konsep Hegemoni (Antonio Gramschi. Red.)
 Hegemoni
Hegemoni berasal dari bahasa Yunani egomonia yang berarti penguasa atau pemimpin. Dalam penafsirannya hegemoni adalah pengaruh kekuasaan atau dominasi. Sosok Antonio Gramschi intelektual muda marxis mengangkat konsep ini karena dinilai ketertindasan rakyat tidak hanya dari sektor ekonomi saja, akan tetapi ada sebuah kesepakatan antara pihak yang mendominasi dengan pihak yang didominasi. Jalur atau alat yang dipakai dalam bingkaian hegemoni ini adalah memalui ideologi. Dari sini pihak yang didominasi tidak merasakan adanya ketertindasan dalam diri mereka, sebab adanya kesepakatan antara keduanya.

Dominasi Negara dalam Pendidikan

Pendidikan akan berjalan dengan lancar, jika pendidikan tersebut dikontekskan dengan kondisi dimana pendidikan itu berada (Paolo Freire. Red.). Hal ini disinyalir karena pendidikan akan selalu bersinggungan dengan realitas dimana pendidikan itu berada. Senyatanya pendidikan formal hari ini ada sebuah proses penyeragaman. Baik penyeragaman pola fikir, maupun penyeragaman sikap anak didik. Bentuk- bentuk penyeragaman semacam ini yang nantinya akan menjadikan anak didik menjadi tidak memiliki kreatifitas, dan potensi yang ada dalam diri mereka tidak akan pernah tersampaikan.
Dampak yang terjadi adalah menurunnya Sumber Daya Manusia (SDM). Meskipun banyak hal yang meliputi masalah penurunan SDM ini, akan tetapi yang lebih dominan mempengaruhi adalah dari sektor pendidikan. Jika pendidikan formal hari ini masih saja mengkebiri proses anak didik dalam pengembangan potensi diri, maka tidak hanya penurunan SDM saja yang terjadi. Banyaknya pengangguran, tingkat kriminalitas yang sangat tinggi dan banyak lagi dampak yang akan keluar selanjutnya.
Senyatanya banyak permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan kita. Dan yang pasti menjadi korban adalah anak didik. Anak didik belum lagi dibebani biaya untuk mengikuti pendidikan formal, pelajaran yang menjenuhkan. Anak didik disuruh mengikuti pergantian kurikulum yang semakin tidak ada kejelasan, belum lagi jika mereka harus bekerja mencari biaya untuk meneruskan jenjang pendidikan formalnya. Padahal dalam pembukaan UUD ’45 dijelaskan bahwa;
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
2. Memajukan kesejahteraan umum.
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa.
4. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Ternyata dalam tahap realisasinya, ternyata negara atapun penguasa saat ini masih belum bisa. Entah dengan alasan apalagi mereka (pemerintah atau penguasa) hari ini merasionalisasi kesalahan mereka. Dan entah bagaimana kondisi generasi masa depan jika pendidikan kita masih saja menerapkan sistem yang semacam ini. Sampai kapan anak didik menjadi korban dari kekuasaan yang sepihak semacam ini.

This entry was posted on Senin, 26 April 2010 at 21.06 . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar

Entri Populer