MANAGEMENT STRATEGI DALAM PENDIDIKAN  

Posted by M.S Umam


BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perlu kita ketahui bersama, dapat dinamakan sebuah organisasi jika terdapat kumpulan individu atau perorangan yang memiliki tujuan yang sama. Tak ubahnya dengan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan sebagai organisasi pasti akan dihadapkan dengan dua “lingkungan” yang sangat berbeda; lingkungan internal dan lingkungan eksternal. Semua organisasi pasti akan berhadapan dengan kedua lingkungan tersebut. Semakin besar lembaga pendidikan, maka semakin kompleks pula bentuk, jenis, dan sifat interaksi yang terjadi dalam menghadapi ke dua jenis lingkungan tersebut. Alhasil, salah satu implikasi kompleksitas problematika tersebut adalah proses pengambilan putusan yang rumit dan sulit.

Melihat fenomena di atas, sebuah organisasi, temasuk lembaga pendidikan membutuhkan apa yang kemudian disebut sebagai Management Strategi. Seorang manager, pasti akan menyadari betapa pentingnya peranan management strategi. Bagaimana seorang manager dapat melihat kekuatan dan kelemahan di internal organisasi atau lembaganya dan memotret peluang serta tantangan di wilayah eksternal organisasi dan atau lembaga yang di pimpinnya. Dengan demikian, seorang manager akan lebih mudah dalam merealisasikan berbagai macam target dan tujuan organisasi dengan efektif dan efisien.

Rumusan Masalah

Menilik pemaparan di atas, penulis akan mencoba membagi beberapa rumusan masalah. Hal ini dimaksudkan agar dalam proses pembahasan makalah ini tidak bias dan melebar. Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas adalah sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud konsep strategi dalam pendidikan?

2. Bagaimana skala waktu dibahas dalam management strategi pendidikan?

3. Apa saja kebutuhan strategi dalam pendidikan?

4. Apa perbedaan berfikir strategis dan kebijakan strategis?

BAB II

PEMBAHASAN

Konsep Strategi dalam Pendidikan

Membahas tentang strategi, sulit untuk dibantah bahwa istilah tersebut kerap kali dan lebih popular dikalangan militer. Di lingkungan tersebut, penggunaan kata strategi juga lebih dominan digunakan saat kondisi berperang. Dimana seorang komandan bertugas dan bertanggung jawab mencari cara dan taktik untuk mengalahkan musuh dan memenangkan peperangan. Tugas tersebut menjadi sangat penting karena kemenangan dalam peperangan adalah sebagai tujuan yang harus dicapai.[1] Dewasa ini, istilah strategi sudah digunakan untuk semua jenis organisasi. Ide- ide pokok yang terdapat dalam pengertian semula tetap dipertahankan. Hanya saja aplikasinya disesuaikan dengan jenis organisasi yang menerapkannya. Hal tersebut didasari oleh pemahaman bahwa, pada kenyataannya seorang manager tengah melaksanakan peperangan dalam artian pencapaian sebuah tujuan organisasi tersebut.[2]

Kiranya ada sepuluh instrument yang perlu diperhatikan oleh seorang manager dalam merumuskan strategi. Pertama, strategi berarti menentukan misi pokok suatu organisasi. Seorang manager dalam posisi ini menyatakan secara garis besar apa yang menjadi pembenaran keberadaan organisasi, filosofi apa yang digunakan dalam proses penjaminan sebuah organisasi tersebut, dan sasaran apa yang akan dicapai. Titik prioritas dalam factor yang pertaman ini adalah bahwa, strategi merupakan keputusan dasar yang dinyatakan secara garis besar. Kedua, dalam merumuskan dan menetapkan strategi, manager harus memaparkan profil organisasi tersebut. Profil yang dimaksud adalah gambaran kemampuan yang dimiliki disektor internal organisasi tersebut.[3] Dalam konteks lembaga pendidikan, seorang manager harus mampu melihat dan mengkomunikasikan kekuatan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tersebut kepada para tenaga pendidik dan tenaga kependidikan yang dimiliki oleh lembaga pendidikan itu sendiri.

Ketiga, pengenalan terhadap lingkungan dimana organisasi tersebut berada. Seorang manager harus mampu menjelaskan peluang dan tantangan yang bersifat ekternal. Hal tersebut dalam upaya untuk menentukan pola komunikasi dan melihat daya saing organisasi lain yang mungkin dianggap mengancam eksistensi organisasi. Dalam lembaga pendidikan, peluang dan tantangan diruang eksternal bisa jadi sebuah instrument penting dalam mendongkrak kinerja tenaga pendidik dan tenaga kependidikan demi mencapai tujuan yang diharapkan. Keempat, mengidentifikasi solusi atas problematika yang dihadapi, serta merumuskan rangcang bangun solusi alternative sebagai upaya pencapaian tujuan. Kelima, menjatuhkan rumusan strategis dan dikaitkan dengan sasaran jangka panjang yang dianggap memiliki nilai paling strategis dan diperhitungkan dapat dicapai karena didukung oleh kemampuan dan kondisi internal organisasi.[4]

Keenam, suatu sasaran jangka panjang pada umumnya mempunyai paling sedikit empat ciri yang menonjol. (1) sifatnya yang idealistic. (2) jangkauan waktunya jauh ke masa depan. (3) hanya dapat dinyatakan secara kualitatif, dan (4) masih abstrak. Dengan cirri semacam itu, suatu strategi perlu memberikan arah tentang rincian yang perlu dilakukan. Artinya, perlu ditetapkan sasaran antara dengan ciri- ciri: (a) jangkauan waktu kedepan harus spesifik. (b) praktis dalam arti diperkirakan dapat dicapai. (c) dinyatakan secara kuantitatif, dan (d) bersifat kongkret. Ketujuh, memperhatikan pentingnya realisasi strategi dengan memperhatikan kemampuan organisasi di bidang anggaran, sarana dan pra sarana, serta waktu pelaksanaan. Kedelapan, mempersiapkan tenaga operasional dalam pencapaian tujuan. Kesembilan, menciptakan system pengawasan yang inovatif untuk memacu kinerja tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Kesepuluh, adanya system penilaian tentang keberhasilan dan ketidak berhasilan sebuah capaian tujuan organisasi.

Skala Waktu dalam Strategi Pendidikan

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa, dalam merumuskan strategi skala waktu juga harus diperhatikan. Adapun jenis skala waktu yang akan kami paparkan ada dua: jangka pendek dan jangka panjang. Pertama, kita akan membahas terlebih dahulu skala waktu jangka panjang. Skala waktu jangka panjang ini mulai berkembang sekitar dasa warsa 1950-an.[5] Pada dasarnya, tidak ada sebuah “rumus” yang menyatakan batasan waktu yang bersifat “jangka panjang”. Setiap organisasi atau lembaga pendidikan, berhak menentukan sendiri skala waktu jangka panjang tersebut. Yang jelas, pada umumnya tujuan organisasi atau berbagai macam sasaran capaian organisasi dapat disebut jangka panjang apabila cakupan kurun waktunya “multi-tahun”.[6] Agar mempunyai makna opersional yang dapat dipahami oleh semua elemen, maka seorang manager harus menyatakan secara jelas apa yang ingin dicapai oleh organisasi atau lembaga pendidikan dalam kurun waktu tertentu dimasa yang akan datang.

Kedua, skala waktu jangka pendek. Dalam konteks ini, tidak ada devinisi yang jelas untuk merepresentasikan skala waktu jangka pendek. Akan tetapi, secara operasional, skala waktu jangka pendek sebuah organisasi atau lembaga pendidikan adalah bentuk periodesasi. Periodesasi yang dimaksudkan disini biasanya berbentuk program tahunan. Tidak hanya sebatas itu, skala waktu jangka pendek juga harus dirancang secara rinci, sistematis, kongkrit, dan bersifat kuantitatif. Hal ini disinyalir karena skala waktu jangka pendek ini sebagai penghantar menuju capaian tujuan dalam skala waktu jangka panjang. [7]

Kebutuhan Strategi dalam Pendidikan

Telah disinggung di atas bahwa yang dimaksud dengan strategi adalah suatu keputusan dasar yang telah diambil oleh manager dalam menentukan langkah gerak organisasi atau lembaga pendidikan di masa kini dan yang akan datang. Penulis berpendapat bahwa, ada enam kebutuhan untuk merumuskan strategi dalam pendidikan. Adapun beberapa kebutuhan telah disebut di bawah ini:

1. Perumusan Visi dan Misi. Bagi suatu organisasi atau lembaga pendidikan perumusan dan penentuan Visi- Misi sangatlah penting. Hal ini disebabkan bukan hanya sangat mendasar sifatnya, akan tetapi membuat organisasi atau lembaga pendidikan akan memiliki jati diri yang bersifat khas. Hemat penulis, dengan visi- misi inilah yang kemudian menjadikan pembeda antara organisasi satu dengan organisasi yang lain meski bergerak dalam bidang yang serupa. Begitu pula dalam lembaga pendidikan. Dengan adanya visi- misi inilah yang kemudian dapat menjadikan pembeda antara lembaga pendidikan yang satu dengan lembaga pendidikan yang lain.

2. Penentuan Profil. Setiap organisasi menghadapi keterbatasan kemampuan menyediakan dan memperoleh sumber- sumber yang diperlukan. Maka, dengan ini, manager harus melakukan analisa secara obyektif agar dapat ditentukan kemampuan organisasi berdasarkan berbagai macam sumber yang diperoleh. Berdasarkan analisis itulah, profil organisasi dapat ditentukan. Profil yang dimaksudkan di atas adalah menggambarkan kuantitas dan kualitas sebagai sumber yang dapat atau mungkin dikuasai untuk dimanfaatkan dalam rangka pelaksaan strategi yang telah ditentukan.

3. Penetapan Skala Waktu Jangka Panjang. Setelah melaksanakan proses di atas, seorang meneger membutuhkan penetapan skala waktu jangka panjang. Hal ini akan menjadikan sebuah organisasi akan lebih eksis. Sebagaimana telah dijelaskan di part sebelumnya, secara operasional, seorang manager harus memaparkan secara jelas apa yang ingin dicapai dengan skala waktu tertentu di masa yang akan datang.

4. Penentuan Operasional dan Skala Waktu Jangka Pendek. Ketika penetapan skala waktu jangka panjang telah dilalui, maka seorang manager membutuhkan langkah kongkret operasional. Langkah kongkret operasional ini akan diterjemahkan dalam bentuk program tahunan atau sasaran tahunan. Yang dimaksud sasaran tahunan disini adalah skala waktu jangka pendek yang ditentukan secara rinci, sistematis, kongkret, dan bersifat kuantitatif.

5. Penciptaan System Pengawasan. Tidak dapat kita pungkiri bahwa, sebuah bentuk operasional pasti memerlukan bentuk pengawasan. Mengawasi berarti mengamati dan memantau dengan berbagai macam cara. Hal tersebut dibutuhkan oleh seorang manager agar dalam proses operasional tidak terjadi penyimpangan dari rencana atau program yang telah ditentukan sebelumnya.

6. Penciptaan Sistem Penilaian. Prof. Dr. Sondang P. Siagian pernah bertutur tentang devinisi penilaian dalam konteks ini. Beliau menyatakan bahwa penilaian sebagai upaya sadar untuk membandingkan hasil yang seharusnya dicapai dengan hasil yang nyata telah dicapai dalam rangka pencapaian tujuan suatu organisasi.[8] Penilaian menjadi sangat penting dalam proses ini karena dengan penilaian kita akan dapat melihat tiga hal. Pertama, apakah sasaran terlampaui. Kedua, apakah hasil sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan ditetapkan. Ketiga, bagaimana kinerja pelaksana program.

Perbedaan Berfikir Strategis dan Keputusan Strategis

Hemat penulis, yang dimaksud berfikir strategis adalah sebuah bentuk pola pikir yang dinamis-futuristik dan tidak statis. Secara aplikatif, dapat disebutkan pola pikir yang selalu memiliki paradigma jauh kedepan. Dapat melihat potensi capaian keberhasilan sebuah organisasi atau lembaga pendidikan di masa yang akan datang. Tentunya dengan malalui mekanisme seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu diawali dengan proses analisa kondisi internal dan eksternal. Sementara kebijakan strategis adalah sebuah bentuk pelembagaan yang telah dirumuskan dan sudah dalam bentuk operasional yang rinci, sistematis, kongkret, dan bersifat kuantitatif. Tentunya dengan skala waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

BAB III

KESIMPULAN

Pada dasarnya, strategi dalam lembaga pendidikan sangatlah diperlukan. Hal ini dimaksudkan agar proses pencapaian tujuan lembaga pendidikan dapat berjalan secara maksimal. Tidak hanya sebatas itu, dalam upaya wujud eksistensi sebuah lembaga pendidikan, diperlukan sebuah pemikiran, langkah, dan kebijakan strategis. Ada pun tahapan dan kebutuhan dalam rangka merumuskan strategi dalam lembaga pendidikan adalah sebagai berikut:

1. Perumusan visi- misi

2. Penentuan profil

3. Penetapan skala waktu jangka panjang

4. Penentuan operasional dan skala waktu jangka pendek

5. Penciptaan system pengawasan

6. Penciptaan system penilaian



[1] Dr. Akdon, M.Pd, Strategic Management for Educational Management, Alfabeta, Bandung, 2006, hal 3.

[2] Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA, Management Strategi, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal 16.

[3] Ibid.

[4] Ibid.

[5] Dr. Akdon, M.Pd, Strategic Management for Educational Management, Alfabeta, Bandung, 2006, hal 74.

[6] Prof. Dr. Sondang P. Siagian, MPA, Management Strategi, Bumi Aksara, Jakarta, 1995, hal 36.

[7] Ibid, hal 37.

[8] Ibid, hal 41.

Read More......

Sejarah Feminisme  

Posted by M.S Umam

m.s.umam

Feminisme sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda.

Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.

Adanya fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktik-praktik dan kotbah-kotbah yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta perempuan, dan beberapa jabatan "tua" hanya dapat dijabat oleh pria. Pergerakan di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan Hak-hak Wanita" (Vindication of the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktik perbudakan, hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak pilih.

Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal sisterhood). Pada tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis, Derrida. Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan.

Aliran

Feminisme liberal

Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki. Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki. Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada pria. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.

Feminisme radikal

Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal". Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political" menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).

Feminisme Post Modern

Ide Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.

Feminisme Anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja. [3]

Feminisme Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini hendakmengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.

Feminisme Postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”

Feminisme Nordic

Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktik-praktik yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.[4]

TOKOH DALAM FEMINISME

1. Foucault

Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.

2. Naffine (1997:69)

Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek dari kuasa.

3. Derrida (Derridean)

Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.

Read More......

Gender Bukan Halangan; Nikmati Sensasi Sesama Jenis  

Posted by M.S Umam

m.s.umam

Pengertian Gender dan Seks
Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Seks/kodrat adalah jenis kelamin yang terdiri dari perempuan dan laki-laki yang telah ditentukan oleh Tuhan. Oleh karena itu tidak dapat ditukar atau diubah. Ketentuan ini berlaku sejak dahulu kala, sekarang dan berlaku selamanya. Gender bukanlah kodrat ataupun ketentuan Tuhan. Oleh karena itu gender berkaitan dengan proses keyakinan bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan berperan dan bertindak sesuai dengan tata nilai yang terstruktur, ketentuan sosial dan budaya ditempat mereka berada. Dengan demikian gender dapat dikatakan pembedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk atau dikonstruksi oleh sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Dengan demikian perbedaan gender dan jenis kelamin (seks) adalah Gender: dapat berubah, dapat dipertukarkan, tergantung waktu, budaya setempat, bukan merupakan kodrat Tuhan, melainkan buatan manusia. Lain halnya dengan seks, seks tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan, berlaku sepanjang masa, berlaku dimana saja, di belahan dunia manapun, dan merupakan kodrat atau ciptaan Tuhan.

Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender
Kesetaraan gender berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidak adilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

Permasalah Ketidakadilan Gender
Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki.
Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur masyarakat. Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan dibandingkan laki-laki.
Faqih dalam Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender adalah suatu sistem dan struktur yang menempatkan laki-laki maupun perempuan sebagai korban dari sistem (Faqih, 1998a; 1997). Selanjutnya Achmad M. menyatakan, ketidak adilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, terutama pada perempuan; misalnya marginalisasi, subordinasi, stereotipe/pelabelan negatif sekaligus perlakuan diskriminatif (Bhasin, 1996; Mosse, 1996), kekerasan terhadap perempuan (Prasetyo dan Marzuki, 1997), beban kerja lebih banyak dan panjang (Ihromi, 1990). Manisfestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisah-pisahkan, saling terkait dan berpengaruh secara dialektis (Achmad M. hal. 33, 2001).

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender
1. Marginalisasi perempuan sebagai salah satu bentuk ketidakadilan gender
Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan, banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang seperti penggusuran dari kampong halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti internsifikasi pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang ummunya dikerjakan oleh tenaga laki-laki. Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi unggul yang panennya menggunakan sabit.
2. Subordinasi
Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari laki-laki. Banyak kasus dalam tradisi, tafsiran ajaran agama maupun dalam aturan birokrasi yang meletakan kaum perempuan sebagai subordinasi dari kaum laki-laki. Kenyataan memperlihatkan bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama perempuan dalam kehidupan. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari isteri.
3. Pandangan stereotype
Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan). Hal ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domistik atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi juga terjadi di tempat kerja dan masyaraklat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara. Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nakah utama, (breadwinner) mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.
4. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan, muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence, artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperpti pelecehan seksual sehingga secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu, paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.
5. Beban Ganda
Bentuk lain dari diskriminasi dan ketidak adilan gender adalah beban ganda yang harus dilakukan oleh salah satu jenis kalamin tertentu secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada umumnya beberapa jenis kegiatan dilakukan laki-laki, dan beberapa dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi, menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga. Sehingga bagi mereka yang bekerja, selain bekerja di tempat kerja juga masih harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Dalam proses pembangunan, kenyataannya perempuan sebagai sumber daya insani masih mendapat pembedan perlakuan, terutama bila bergerak dalam bidang publik. Dirasakan banyak ketimpangan, meskipun ada juga ketimpangan yang dialami kaum laki-laki di satu sisi.

Read More......

Ke(DIAM)an Kita  

Posted by M.S Umam

Ke(DIAM)an Kita[1]

we’e : ms_umam[2]

Almuhafadhotu ‘ala Qodimi as Sholich wa al Ahdu bi Al Jadidi al Ashlah

Satu konsep Ushul Fiqh dari Hadrotus Syaich Imam Syafi’I tersebut sudah sering kita dengar dan kita utarakan. Namun, terkesan sampai hari ini banyak diantara kita masih belum bisa merealisasikan hal tersebut. Jika konsepsi diatas diterapkan dalam wilayah berorganisasi, maka satu organisasi akan terlihat sangat elegan dalam setiap pemikiran, gerak, dan langkahnya. Terlepas dari mana kita memaknai satu organisasi. Yang jelas, hal ini juga bersinggungan dengan cita- cita PMII; menciptakan kader insane ulul albab[3]. Kembali saya tegaskan bahwa, organisasi akan berjalan dengan baik ketika system managerial dan supporting sistemnya juga berjalan dengan baik.

Kembali kita bahas terkait dengan konsepsi diatas. “menjaga tradisi lama yang baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”. Kurang lebih semacam itu makna dalil yang ada diatas. Dalil yang sedemikian rupa, memiliki makna yang sangat mendalam. Satu sisi, kita dituntut untuk melanggengkan tradisi lama yang baik. Disisi lain, kita disuruh memilah dan memilih tradisi baru yang lebih baik. Organisasi akan memiliki karakteristik jika dapat melanggengkan tradisi lama yang sudah baik. Dan akan terlihat sisi dinamisnya ketika dapat mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik.

Ambil satu contoh yang kerap kita ketahui, namun tidak pernah kita pahami sabagai satu pola system yang sangat menarik; kajian rutin komisariat. Istilah kajian berasal dari suku kata “ngaji” yang berarti belajar. Merunut dawuh dari KH. Bisri Syansuri “Ngajio ben dadi Aji”. Kemudian, ada maqola yang berbunyi “Ta’allam fa inna ‘ilma zainun li ahlihi wa fadlun wa ‘inwanun likulli mahamidi”[4]. Dengan “Ngaji” kita telah melaksanakan proses pemberdayaan diri. Terlebih hal tersebut dilaksanakan didalam organisasi. Tak pernah kita sadari, pada dasarnya kita telah melaksanakan system yang sangat kokoh, yang telah dibangun oleh para ulama’ terdahulu. Dan hal tersebut sudah terbukti kemanjurannya dalam meramu seseorang untuk menjadikan dirinya lebih terberdayakan.

Penerapan atau pola lama yang baik semacam ini perlu untuk tetap dilanggengkan sebagai salah satu bentuk dan karakter organisasi. Hal ini juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kader agar mempunyai rasa “memiliki” terhadap komisariat dan organisasi secara umum. Yang selama ini kita anggap sulit dalam menjalankan roda organisasi pada dasarnya adalah tidak adanya team work dalam melaksanakan proses. Jika kader sudah mempunyai rasa “memiliki”, maka tidak ada kata sulit dalam proses dinamika berorganisasi. Lagi- lagi saya tegaskan bahwa, ini masih salah satu contoh dari banyak hal yang telah kita laksanakan dan akan kita hadapi dikemudian hari.

Tanggung Jawab Kader Pergerakan

Banyak hal sebenarnya jika kita mau melaksanakan proses pembangunan organisasi. Namun, lagi- lagi terkesan kehilangan arah dan tujuan sehingga menjadikan kita tidak tahu akan peran dan fungsi kita sebenarnya. Seharusnya, pembahasan ini tuntas diwilayah pasca PKD. Namun, ada kemungkinan kita semua lupa (jika tidak mau disebut pura- pura lupa atau tidak tahu sama sekali) bahwa, ada dua tanggung jawab yang ada di PMII[5]. Pertama, tanggung jawab social. Dimana, kader- kader PMII wajib hukumnya untuk lebih sensitif terhadap realitas social dimana mereka berada. Dalam hal ini, kader PMII dituntut untuk menegakkan nilai- nilai yang dibangun di PMII dalam realitas social. Tentunya nilai- nilai yang terejawantahkan dalam Aswaja dan NDP PMII. Karena keduanya memiliki spirit keIslaman dan keIndonesiaan yang menjadi sumber dari lahirnya nilai- nilai tersebut.

Kedua, adalah tanggung jawab formal. PMII adalah Organisasi pengkaderan. Dimana ada semacam proses jenjang kaderisasi didalamnya. Nah, disinilah letak tanggung jawab formal kader terhadap organisasi. Tanggung jawab yang satu ini, mengharuskan kader- kader PMII yang sudah lolos dari “seleksi alam” untuk melanjutkan mata rantai kepengurusan di PMII. Baik buruknya organisasi berada ditangan generasi yang menjalankan amanat organisasi. Tidak ada seorang kader pun yang menginginkan organisasinya menjadi jelek, lebih- lebih mati ditelan zaman. Maka dari itu, satu tanggung jawab ini menjadi sangat bermakna ketika hal tersebut terngiang dikepala kita semua.

Spirit Agamis Menuju Spirit Organisatoris

Semangat yang terbangun di PMII Tarbiyah Cabang Surabaya sampai hari ini masih terkesan sangat agamis-konservatif. Meski tampak dari luar nalar yang dibangun sangat liberal-kompromistis, namun sikap yang ditunjukkan masih terkesan sangat kaku dan kolot. Hal tersebut terbangun dari kerancuan berfikir kepengurusan yang selalu tertutup dan mempertimbangkan segala sesuatu menjadi sangat politis.

Entah, apakah ini menjadi satu keresahan individu yang kemudian menjadi keresahan kolektif kader hari ini. Atau, hal ini hanya sebatas resapan dari realitas yang terjadi. Akan tetapi, demikianlah yang menjadikan penulis menjadi resah ketika melihat kejadian demi kejadian terus berlanjut, baik didalam maupun diluar kantor komisariat. Dampak yang paling mendasar dan paling kentara adalah, imbas terhadap kader yang kemudian menjadi sangat rentan terhadap hal- hal yang ada disekelilingnya. Timbullah kecurigaan- kecurigaan antar kepengurusan dengan kader yang ada didalamnya.[6] Kecurigaan tersebut tidak terjadi secara alamiah, akan tetapi terstruktur dan rapi. Minimnya komunikasi dan koordinasi menjadikan banyak hal yang akan memicu konflik dalam organisasi.

Meski konflik akan menambah dinamisnya satu oragnisasi[7], namun perlu diantisipasi juga ketika tidak bisa me-manage-nya. Konflik akan menjadi bara yang akan membakar apapun yang ada disekitarnya. Bagaimana pun juga, apa yang selama ini kita pahami sebagai satu gambaran yang ideal, patut kiranya kita jadikan pondasi untuk gerak langkah kita selanjutnya. Jangan sampai bangunan yang selama ini sudah kokoh akan hancur hanya dengan krikil kecil yang menjadi penghambat dinamisasi suatu organisasi.

Ambil saja satu sample bahwa spirit agama yang selama ini sudah kadung kita langgengkan sebagai pondasi yang melatarbelakangi proses gerak langkah kita. Namun, perlu adanya formulasi baru agar spirit agama tidak lagi menjadi sesuatu yang kolot dan kaku. Mari, dalam hal ini kita jadikan sebagai acuan untuk menata gerak langkah kita selanjutnya. Memang, realitas memiliki logikanya masing- masing. Namun, perlu kita garis bawahi bahwa, akan terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan jika kita tidak cepat- cepat untuk memaksimalkan segala potensi yang ada, menjadi hal yang mempengaruhi proses keberlanjutan organisasi. Spirit agama yang selama ini terkesan kaku, kolot, dan statis, hari ini coba kita refleksikan menjadi satu gerakan untuk mewujudkan sebuah perubahan. Tentunya melalui bumbu – bumbu yang semakin terbuka dan komunikatif.

Pada dasarnya, dalam Nilai Dasar Pergerakan (NDP) telah termaktub nilai- nilai yang sangat ideal.[8] Stagnasi yang terjadi akhir- akhir ini ada, kemungkinan besar karena pelaku sejarahnya kurang dapat memahami latar historisitas dan nilai- nilai yang terkandung dalam organisasi. Ada kemungkinan juga kurangnya pemahaman terhadap peran dan fungsi masing- masing elemen, sehingga mensyaratkan terjadinya konflik internal yang tidak pernah kunjung selesai.



[1] Ditulis dalam keadaan resah…

Kata ini masih ambigu atau bermakna ganda. Pertama, adalah “kediaman” atau rumah singgah, tempat berdiam diri. Kedua, bermakna sikap yang “diam” atau stagnan dalam semua hal. Disinyalir, hari ini terjangkit pada diri kita semua. Kemungkinan, tulisan ini akan sedikit membantu kebuntuan kita dalam menentukan arah gerak langkah kita. Demi PMII Tarbiyah sepenuhnya.

[2] Ketua Umum PMII Tarbiyah Kombes Sunan Ampel Cabang Surabaya periode 2008 – 2009. Untukmu satu tanah air ku. Untukmu satu keyakinanku. Inilah kami wahai Indonesia satu angkatan dan satu jiwa. Putera bangsa bebas merdeka. Tangan terkepal dan maju kemuka. Mundur selangkah adalah satu penghianatan.

[3] Merebut Kekuatan Perubahan, PKC PMII JATIM, 2005

[4] Ta’limu al Muta’allim

[5] Merebut Kekuatan Perubahan, PKC PMII JATIM, 2005

[6] Hal ini kerap terjadi dalam proses dialog santai atau pun dalam forum- forum formal yang telah dilaksanakan. Juga didukung dengan keresahan kader yang kemudian menjadikan putusnya komunikasi antar pengurus dengan kader yang masih aktif dalam organisasi.

[7] Hal tersebut jika konflik dimaknai sebagai hal yang sangat membangun dan menjadikannya sebagai evaluasi dalam setiap gerak langkahnya.

[8] Merebut Kekuatan Perubahan, PKC PMII Jawa Timur, 2005. Nilai Dasar Pergerakan (NDP) adalah sublimasi dari nilai- nilai ke-Islam-an dan ke- Indonesia-an; Tauhid, Hablum min Allah, Hablum min an Naas, Hablum ma’a al ‘Alam. Adalah satu konsepsi sangat lengkap untuk mewujudkan perubahan. Tidak ada yang mensyaratkan akan hal- hal yang sifatnya statis didalamnya.

Read More......

Entri Populer